Home » » 03. Evita Fanny (LUPUS “CINTA OLIMPIADE”)

03. Evita Fanny (LUPUS “CINTA OLIMPIADE”)

Ditulis Oleh Unknown on Selasa, 23 Juli 2013 | 10.16



Lupus dan Aji masih berada di depan rumah artis penyanyi Evita Fanny. Benar-benar tak tau apa yang harus dilakukan lagi. Meski Lupus sudah lumayan sering wawancara begini, tapi toh dia masih belum bisa santai. Malah sering kedapatan lagi dorong-dorongan atau ber-suit-ria sama temannya untuk menentukan siapa yang masuk duluan. Kan malu-maluin banget tuh! Tapi ya nggak apa-apa. Lupus nggak pernah putus asa Cuma karena hal-hal yang begitu. Segalanya kan bisa saja karena biasa kalau kita sering melakukannya. 

"Kita bikin keributan aja di sini, nanti kan mereka pada keluar!" sahut Lupus kumat gilanya.
"Gila lu, nanti kalau diciduk polisi gimana?"

"Emangnya kita teroris? Maksud saya, kita Cuma mengadakan aksi unjuk perasaan, gitu!"
"Kamu kalau sudah nekat memang gawat, Pus! Terus, ngapain dong?"
"Misalnya kita tekan bel terus-terusan. Kan lama-lama mereka kesal lalu keluar. Nyamperin kita atau malah ngusir kita. Tapi nggak apa-apa. Namanya juga orang usaha. Kan nggak ada salahnya!"
"Iya, ya."

Dan mereka pun secara bergantian menekan bel. Berulang-ulang. Ada suara anjing yang menggonggong lagi. Sampai akhirnya wajah seram yang tadi muncul lagi di balik pagar yang ke tinggi. Siap menyemprotkan amarahnya. Tapi Lupus cepat-cepat menyapa, "Assalamualaikum! Kayaknya kita pernah ketemu deh. Kapan, ya? O ya, beberapa menit yang lalu. Apa kabar? Gini lho, saya dari majalah..."

"Bosen! Kalian ini belum pernah mendapat pelajaran ya? Sudah pernah merasakan gimana enaknya digigit si Pleki?"
"Belum. Siapa itu? Bapak kamu ya?"
"Sialan! Kalian benar-benar kurang ajar!" bentaknya marah sambil melompat turun. Tapi baru orang itu membuka pintu pagar, ada suara yang memanggil. Terpaksa marahnya tertunda dan langsung tergopoh-gopoh menghampiri si pemanggil.
"Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-barang belanjaan tadi pagi diturunin dulu," sahut si pemanggil yang ternyata Evita itu.
"Baik Nona."
"O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar macam tadi? Pacaran sama babu sebelah, ya?"
"Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil. Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara. Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya udah, saya usir saja. Tapi kok ya nekat anak itu!"
"Ya, Nona, dan dua pemuda kecil yang manis-manis itu adalah kami sendiri!" tiba-tiba ada suara sopan menyambung dari belakang Bang Kerpa. Bang Kerpa langsung menoleh kaget!
"Hei, kurang ajar. Bagaimana kamu bisa masuk kemari? Loncat pagar, ya?"

"Bagaimana? Mudah. Siapa yang suruh pintu pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan, sementara anjing kamu itu asyik mengejar-ngejar kucing sampai keluar pekarangan rumah...," jawab Lupus kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya. Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan dengan Evita Fanny.

Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun. Wajahnya, bukan main. cakep banget. Dengan bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai kucing, kulit tubuh yang kuning langsat. Wah, emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi. Dengan penampilan yang serba sempurna untuk seorang gadis remaja, siapa sih yang enggak betah memandangi berjam-jam?
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa?" tanya Evita pelan. Suaranya, wah. Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja. Di situ siapa?" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh?"
"Iya, hebat ya?"
"Kok masih kecil? Wartawan bo'ongan ya? Mana kartu pers kalian?"
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak percaya, boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau apa?"
"Wawancara. Boleh, kan?"
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin janji. "
"Sudah, kok!"
"Kapan? Saya kok belum dikasih tau?"
"Lima menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh kamu yang cowok itu dengan noraknya naik-naik ke atas pagar...."
"Ah. Tapi bolehlah kalau kalian memaksa. cuma, sebentar aja, ya? Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan masuk.

Di ruang tamu, suasananya cukup membuat keduanya terkesima. Satu set mewah kursi tamu besar warna biru, dengan karpet yang bagai rumput manila terhampar megah. Dipadukan dengan hiasan-hiasan dinding yang serba biru, menyejukkan suasana. Sementara foto close-up Evita Fanny terpampang megah di dinding sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang disusun rapi. Dari dalam mengalun lembut musik instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan Lupus dulu sering mendengar ayahnya memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.

Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga. Padahal kalau dibandingkan dengan lagu-lagu yang sering dibawakannya yang berlirik dan bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali.
Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu?"
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama teman-teman seperjuangannya di kantor. Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu walau suka ngaku orang kaya, tapi kalau lapar malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap semoga setelah bangun nanti rasa laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang makan. Tapi ya tak apa. Malah memudahkan kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-sedih. Nggak usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal tulis aja pengalaman pribadinya, beres!

Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita sedih. Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus yang lagi sedikit panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang manis. Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi begitu kalau diliatin cewek cakep.

Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita tergelitik untuk melirik apa yang tertulis di balik daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia merebut secarik kertas itu.

"Lihat deh. Boleh, kan?" "Eh, jangan...," Lupus kaget, tapi Evita sudah merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya bikin supaya nggak lupa. Soalnya terus terang, saya kalo lagi grogi suka lupa apa yang mau ditanya. Balikin dong...."
Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening membaca kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lupus jadi curiga.
"Kamu mau wawancara atau mau belanja? Kok isinya ada ikan asin satu kilo, cabe rawit tiga biji, jengkol sepuluh biji, permen karet..."
Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh, God! Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan belanja yang dititipkan ibunya tadi pagi. Dengan wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia buru-buru mengantonginya. Diganti secarik kertas yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.
"Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang nanyain dari sini. Oke?" balas Lupus keki. Evita tertawa lepas. Keakraban baru saja terjadi.
"Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya mau pergi!" .
Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan sedikit berat, dia pun bangkit. Lupus cepat-cepat menahannya, "Eh, jangan repot-repot!"
"Lho? Saya mau ganti baju, kok. Saya kan mau pergi. ..."
"Ooo, kirain mau bikinin minum...."
"Ya ampun, saya lupa. Kalian haus, ya?"
"Ah enggak. cuma saya mikir, kok samaan sama di rumah ya? Kalau ada tamu dari jauh suka lupa nyuguhin minum. Padahal kan mungkin saja tamu itu merasa haus setelah berjalan begitu jauh. Iya nggak, Ji?" celoteh Lupus sambil melirik ke arah Aji yang hampir mati kehausan.
Lagi-Iagi Evita ketawa. Dia cepat-cepat menyiapkan minuman.

***

Dan Evita ternyata artis yang baik. Dia menawari Lupus dan Aji ikut ke studio sambil melanjutkan wawancaranya di jalan. Di sana Evita cerita banyak. Tentang tiga albumnya yang direkam dalam waktu singkat. Tentang kasetnya yang laku keras. Tentang bonus mobil yang dia dapat. Pokoknya semua.

Buat artis penyanyi, dia memang memiliki segalanya. Meski lagu-lagunya hampir setipe, tentang kecengengan cinta, tapi suaranya tidak mengecewakan. Padahal banyak anggapan yang mengatakan penyanyi pop sekarang cuma modal tampang doang, tapi Evita merupakan pengecualian. Karena dia punya vokal dan penghayatan yang baik buat lagu-lagu komersil yang dibawakannya.

Sebaik-baiknya lagu pop, kalau tidak didukung penghayatan dan vokal yang sempurna, tak akan berhasil. Omong kosong buat yang mengatakan untuk jadi penyanyi cuma modal tampang doang. Setinggi-tingginya teknik studio yang bisa menolong vokal sang artis, tidak akan membantu banyak. Paling jadinya seperti komet. Muncul sebentar, ngetop, lalu menghilang. Tak terkenang.

Ini yang ingin Lupus tekankan pada Evita. Penyanyi ini sangat berbakat. Tapi kenapa begitu sering mengeluarkan album yang senada? Apa mau pakai aji mumpung seperti yang lainnya,?

"Seharusnya kamu lebih selektif, Vita. Batasi pengeluaran album kamu. Kamu punya vokal yang baik. Saya sering lihat kamu nyanyi lagu-lagu daerah di tivi. Di situ kelihatan sekali kemampuan vokal kamu. Bukan sekadar penyanyi pop murahan. Kalau kamu lebih jarang mengeluarkan album, kamu bisa mengikat fans kamu. Membuat mereka penasaran menunggu terbitnya album-album kamu yang berikutnya. Dan dengan sedikit variasi, mereka tak mudah bosan. Dan kamu nggak bakalan cepat dicampakkan fans kamu yang merasa bosan karena kamu keseringan mengeluarkan album yang senada. Kamu jangan mau dikerjain para produser yang cuma mau mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan nasib kamu setelah itu. Mereka mudah saja mencari penyanyi baru. Sedang kamu apa? Itulah, Vita. Makanya, ngapain sekarang ke studio? Lebih baik kita ke fried chicken atau ke mana, gitu. Ngomongin masalah ini. Kamu jangan seperti mesin. Disuruh ke studio, disodori lagu, lalu langsung menyanyikannya hanya dengan mempelajari sebentar tanpa kamu dikasih kesempatan memilih lagu yang cocok buat karakter vokal kamu. Buat selera kamu. Eh, sori. Saya kok jadi cerewet banget, ya? Tapi gimana kamu aja deh. Mau ke fried chicken atau ke studio..."
Evita terdiam. Makhluk yang duduk di sampingnya ini memang kelewat banyak omong, kayak tukang obat. Apa emang begitu ya, kalau wartawan ngerayu minta traktir?
"Kamu mau nodong atau mau nyulik saya?" sahut Vita galak.
"Dua-duanya. Tapi tebusannya nggak berat. Fried chicken!"
Dan Lupus kegirangan setengah mati ketika Volvo Evita berbelok ke fried chicken.

***

Beberapa hari kemudian, Lupus sudah berada di kantor redaksi lagi. Dia lagi excited banget karena baru dapat telepon dari Evita. Gimana nggak senang, Evita meneleponnya dalam keakraban.

"Meski saya kadang ragu apa kamu ini wartawan gadungan atau wartawan beneran, atau malah tukang obat yang buka praktek liar, tapi saya kok ya mikirin juga apa yang kamu bilang. Thanks. Saya suka kamu merhatiin saya kayak gitu. Saya udah batalin jadwal rekaman dalam waktu dekat ini. Bos memang marah dan kaget, tapi lama-lama dia pasti ngertiin saya. Sebab saya ingin dia yang butuh saya, bukan saya yang butuh dia. Saya udah minta untuk menyeleksi lagu, menyeleksi aransemen. Kalo kamu mau tau, saya sendiri di rumah nggak pernah nyetel lagu-Iagu saya. Kamu denger sendiri kan waktu ke rumah? Saya memang nggak pernah bangga pada lagu-lagu saya sendiri selama ini. Sekali lagi trims berat buat kamu. Kapan mau maen ke rumah lagi?"

Itulah. Makanya Lupus jadi senyum-senyum terus. Seriang Mas Veven yang baru masuk tadi langsung menodongnya dengan teka-teki orisinal karyanya sendiri, "Ayo, apa bahasa Indonesianya: Mother goes to the market?"

"Apaan, ya? Nggak tau tuh!" sahut Lupus (pura-pura) nggak tau.
"Belanja ni yee...," jawabnya girang setengah mati. Soalnya jarang-jarang teka-tekinya nggak bisa ketebak Lupus.
Atau juga seriang Mas Wendo yang lagi disalamin temen-temennya gara-gara nongol di tivi dalam acara FFI. "Ah, apalah artinya orang seperti saya ini...," sahutnya ngerendahin diri, ninggiin mutu.

Tapi yang Lupus heran, sejak saat itu Aji nggak pernah kelihatan lagi. Pun di sekolahnya. Sebab Aji memang teman sekolah, cuma lain kelas. Padahal dia kan teman seperjuangan sewaktu wawancara Evita. Maka besoknya Lupus khusus mencari dia ke kelas-kelas. Dan ketemu lagi mojok di kantin. Tetap dalam stil cuwek walau Lupus kelihatan menghampiri. Lupus jadi inget Iwan yang redaktur musik di Hai. Doi juga cuwek berat kalau lagi dengerin walkman. Dipanggilin nggak nyaut-nyaut! Ada kebakaran juga cuwek aja.

"Halo, Ji, kamu sakit ya? Kok nggak pernah keliatan?" tegur Lupus ramah. Aji malah melengos. Lupus jelas heran. Setelah diusut-usut, ternyata dia sempat keki karena waktu itu Lupus akrab banget dengan Evita. Dia sampai tak dikasih kesempatan ikutan ngobrol. Padahal kan dia udah dandan rapi banget.
Lupus jadi ketawa.

"Aduh, Aji, kamu cemburu ya? Apa kamu pikir saya naksir dia? Wah, jangan mimpi dong. Saya cukup tau diri kok. Apa enaknya sih pacaran dengan artis terkenal kayak gitu? Bikin tekanan batin aja. Kita kan belum terbiasa dengan gaya hidup mereka. Yang easy come easy go itu. Wah, mending jangan deh. Lagian belum tentu dia bisa terbuka sama saya kayak gini kalau dia jadi pacar saya. "

"Jadi mendingan seperti sekarang. Saya cuma bikin laporan yang bagus buat majalah. Masa sih persahabatan kita bisa putus cuma karena hal-hal yang sepele kayak gini, Ji? Lupakan semuanya, Ji, kita kembali seperti dulu. cari bintang baru lagi yang cakep, terus kita wawancara sama-sama lagi. Siapa tau yang berikutnya jodoh kamu. Hehehe.... Gimana? Asyik, kan? Petualangan begini penting lho untuk mengenal beberapa karakter cewek-cewek. Jadi kalau udah dapet pacar kayak gitu nggak kaget lagi. Satu hal yang harus kita jaga, jangan mudah ge-er kalau ada orang-orang seperti itu nampak memberi perhatian yang lebih kepada kita. Karena kan belum tentu dia naksir kita. Iya, nggak?"
Aji bangkit. Memandang tersenyum ke arah Lupus. Lalu meninju perutnya dengan pelan. Keduanya pun tertawa keras berbarengan.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

Arsip Blog

 
Support : Kampoeng JAVA
Copyright © 2013. Kampoeng JAVA - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template Edit by Kampoeng JAVA
Proudly powered by Blogger