Home » » 07. Ketika Hujan Turun Lagi (LUPUS “CINTA OLIMPIADE”)

07. Ketika Hujan Turun Lagi (LUPUS “CINTA OLIMPIADE”)

Ditulis Oleh Unknown on Selasa, 23 Juli 2013 | 10.25



CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di luar memang sedang turun hujan (nenek-nenek juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di lapangan olahraga, di dekat perpustakaan, dan yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di sana penuh sekali. 

Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan turun belum lama. Dan tadi pagi, waktu Lupus berangkat sekolah, cuaca belum nampak mendung. Masih cerah. Tapi kini, air menggenang di mana-mana.

Betapa suburnya alam Indonesia.

Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang tanpa kehujanan. Bikin kesel aja. Tapi apa boleh buat? Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di dinding sekolah. Sambil mengulum permen karet yang rasanya udah ngujubileh pait.

Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya kini cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut lapar, lagi.

Sementara teman-temannya yang lain ada yang masih asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat besok. Tapi tak banyak. Kebanyakan dari anak-anak SMA Merah Putih sudah pada pulang. Dijemput atau pakai kendaraan yang biasa mereka bawa. Ada juga yang nekat hujan-hujanan.

Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak juga yang nekat melawan hujan. Bukannya takut sakit, tetapi dia sedang membawa pulang tugas gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau sampai basah kan nggak lucu juga. Soalnya tadi aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan berbagai bentuk bidang, kayak arsitektur amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya basah.

"Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si Boim hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau kehujanan nanti rambut kamu jadi basah? Nggak bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah, kalau ketampanan yang kauperoleh bukan ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan, rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak? Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!" sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke arah hujan.

".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim lagi, "Boim sebagai playboy paling top sejagat tau betul bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di sana itu? Nah, ini saat yang tepat untuk mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah, kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya tidak pakai payung itu. Saya akan khusus membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan demi membela dia supaya enggak kehujanan.

"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi mendadak pelan, Sambil mendekatkan moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!

Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan cowok yang mencintainya, walau ia sendiri sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai, kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep ke-playboy-an saya. That's true. That's love! Kamu setuju pada pendapat itu?"

"Setuju," sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih baik pacaran dengan cewek yang saya cintai, walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"

Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah bak panglima perang, dia berjalan menerjang hujan, menuju sang ratu Svida berteduh. Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian lagi. Dan dia sempat menangkap bayangan yang menatapnya lewat balik kaca Corona biru tua yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus segera tersenyum lucu. Tapi eks ceweknya itu segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun langsung membuang pandangan pada anak-anak kecil yang asyik bermain bola di lapangan becek di luar pekarangan sekolah.

Sementara hujan kian deras.
"Hai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu untuk meninggalkan tempat yang menjemukan ini?" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi tanpa menoleh pun, dia tau siapa kali ini yang datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman kesasar anak bahasa itu ? Yang kalo ngomong selalu sok nyastra. Biar dikata kayak Rendra. Ya, dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana selalu bawa tas koper yang isinya penuh puisi-puisi ciptaannya yang katanya akan laku dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya puisi-puisi saya adalah puisi yang jauh melangkah ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-orang masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap membawa koper.

Teman-temannya banyak yang bilang dia itu seniman gagal. Tapi nggak juga tuh. Dia ternyata cukup sukses juga. Buktinya setiap ada perayaan hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan untuk membacakan puisi karyanya. Kalau sudah begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan pembungkus makanan pada berseliweran di udara. Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya yang sibuk tunggang-langgang ke balik panggung. Berlagak mau ke wc.

Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab. Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk), dia dengan sok akrabnya menyapa setiap orang yang dia jumpai. Menurutnya, setiap orang yang dijumpai adalah para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut (katanya biar lebih mirip Rendra), kadang menyebabkan ritsluiting celananya sulit tertutup rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke mana-mana.

Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya? Dan kini, makhluk ajaib ini sudah berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai prahara ini kan lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan Gusur makin gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana," katanya lagi dengan gaya bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia akan datang lagi dengan selaksa ancamannya!"

Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka. Berlagak asyik memandangi anak-anak yang bermain bola. Tapi matanya tetap mengerling. Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra. "Wahai, Lupus, ketahuilah, jarum-jarum hujan yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini, si Gusur turun berputar-putar seperti orang balet. Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang bulat begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati menahan senyum. "Maka, mari kita berlalu. Basah tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa berjuta derita. Dingin, resah, dan di dalam perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya (lapar, maksudnya!)."

Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa?
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski hujan, nampak begitu aneh. Pakaiannya itu lho, lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan payung kecil yang sekaligus topi. Itu lho, yang biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi kepanasan. Yang ada head-bandnya ala Bjorn Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan? Kalau nggak tau berarti kamu lebih norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi. Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang menyolok.

Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar top kali! Tapi barangkali aja sebagai seniman, dia punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha buktinya, kok tau-taunya sih bakal turun hujan. Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.

Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel sendiri. Dengan judes, dia membuang muka, menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu akhirnya pulang sendirian. Wah, lagaknya. Pake ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum makhluk itu berlalu, sempet juga ia berkicau. Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang membuatmu terpaku di situ. Atau kau takut? Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku andai dikau kutinggalkan. Kita berdiri di dunia kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani. Selamat tinggal, Lupus, hujan telah memanggilku dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.

Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan tanpa kerepotan meski kostum yang dikenakan nampak complicated sekali. Tingkahnya seperti biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya tetap monyong. Habis sial-siul terus sih.

Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang walau hujan mulai sedikit mereda. Perutnya semakin melilit dengan dingin yang menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang?" Kali ini ada suara lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini baru teman yang menyenangkan, batin Lupus ketika melihat Anggi yang datang.
"Belum, Gi. Abis hujan terus. Kamu dari mana?"
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak betah. Mendingan pulang aja. Tapi masih hujan, ya? Padahal nanti so're saya mau latihan gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti hujan reda. Deket cewek cakep begini, laparnya jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul wajah Tejo, anak kelas tiga. Dia tersenyum manis kepada Anggi.
"Mau pulang? Ayo saya anterin. Daripada kedinginan di situ."
Anggi kelihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Mau tunggu hujan berhenti? Wah, sampe besok subuh juga nggak bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut. "Tapi ajak teman saya ini juga, ya?" pinta Anggi. Tejo melirik dikit pada Lupus. Lirikan tak bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di mana?"
"Eh...enggak usah. Makasih aja deh. Saya bisa pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa. Langsung duduk di charade-nya dan tancap gas. Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah nyulik teman dengan paksa, nggak tau diri, lagi!

***

Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan di situ banjir. Lalu lintas macet total. Mobil-mobil yang nggak waterproof udah mogok berat. Walhasil para pengendaranya terpaksa kemping di jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada bersyukur juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa jalan terus, meski pelan banget.

Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak bisa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, Tejo lagi sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena pulangnya malah jadi terlambat. Anggi dengan kesal turun, dan berlari ke arah bis yang ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang masih kebingungan dengan mobilnya.

Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke bis Lupus. Sebab hujan yang tadi agak reda, kini turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi? Nanti sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di dekatnya.
"Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.

Sementara di luar hujan masih turun. Dan di tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si seniman itu, basah kuyup karena kejebur got. Lha iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak kelihatan. Dan kamu tau, seniman ini memang paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal tancap gas aja. Dan akhirnya ia dimakan keyakinannya sendiri.

Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia ngakak keras sekali. Sampai orang-orang sebis memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak peduli.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

Arsip Blog

 
Support : Kampoeng JAVA
Copyright © 2013. Kampoeng JAVA - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template Edit by Kampoeng JAVA
Proudly powered by Blogger