LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa ikut
Lupus pergi.
"Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana
aja..." rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada bingung. Wong mau
ngapel kok malah disuruh bawa adik?
"Kamu ngapain ikut? Pingin tau orang pacaran
ya?"
Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut.
"Pokoknya saya harus keluar rumah!"
Gila, anak ini memang keras kepala. Segala
keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk keluar malam bukan hal yang
biasa direwelinnya. Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar rumah. Malah
mendekam di kamar sambil asyik dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau
diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke diskotek. Padahal remaja seusia
dia, sudah termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di luar rumah.
Jadi kali ini pasti ada apa-apanya.
"Iya, ya? Ada apa-apanya, ya? Ayo, terus terang aja.
Apa kamu udah kepingin pacaran? Udah kepingin belajar keluar malam? Hati-hati
lho, nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya disuruh ngeroki kamu?"
ledek Lupus.
Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya.
"Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-makan kek, ke diskotek
kek..."
Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke
diskotek?
"Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh.
Siapa tau aja ibu masih laku."
"Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu
nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah
Oom Prap. Ibu mau ke sana.
Gimana, mau ikut?"
"Ikut!" jawab Lulu mantap. Lupus
mendadak mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah denger nih? Kok Lulu
mau-mauan ketemu Tante Neli yang cerewet banget itu? Ini sudah jelas. Pasti ada
yang kurang beres.
Belakangan baru terbongkar. Ternyata dia lagi
dikejar-kejar cowok. Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini,
meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya Lulu terpaksa harus
melarikan diri. Tetapi setelah puas dalam pelariannya, dan kembali malam
harinya, ternyata tak seorang pun yang datang. Sang pembantu yang mengatakan hal
ini. Kontan aja Lupus ngakak. "Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang
dulu!"
"Sial, siapa yang girang?" maki Lulu
garang
"Ayo, sudah malam. Jangan berantem
lagi," seru ibunya dari ruang tengah.
***
Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali
saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok yang mengejar-ngejar Lulu itu
datang. Lulu tak bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik nyiram bunga
di taman depan rumah.
"Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa
datang," sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak bisa berbuat apa-apa. Tak
bisa mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam terpaku di tempat.
Lupus yang mengintip dari jendela tidak bisa menahan tawa. " Cieee....,
mesra ni yeee...!" teriaknya keras.
Lulu kaget dan menoleh dengan sengit. Cowoknya
juga. Bujubune, pantesan aja Lulu begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang
ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik. Kadaluwarsa. Berkacamata tebal,
bibir tebal, muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!), sisiran rapi
mengkilap. Pokoknya cocok jadi bapak idela.
"Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja? Ajak
masuk dong!" teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu mendelik sewot. Dan
ketika cowok itu lewat dekat jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan
mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak kuda.
Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat. Dia
dengan rela duduk sopan menunggu berjam-jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau
keluar atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa Lupus untuk menemui atau
menemani cowok itu kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya ketika
makhluk itu muncul lagi.
"Pus, sana
gih temenin si Pinokio itu. Saya males, ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang
masa depan melulu. Ih sebel! Sana
cepetan. Atau bilangin saya lagi sakit perut...!"
"Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!" sahut
Lupus yang lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi Zoolook-nya Jean
Michel Jarre di kamarnya.
Lulu makin empet.
Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suka
bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur. Wah, pokoknya segala macam deh.
Lupus yang doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang ngabisin semuanya.
Sedangkan Lulu tak menyentuh sedikit-dikit pun.
"Idih, haram menikmati barang suapan!"
maki Lulu ketus.
Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan
juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu. Serba ketakutan. Meski sebetulnya
bukan pertama kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat. Dulu Lulu pernah
kelihatan akrab dengan cowok teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah
daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya ngasih respons yang baik untuk
cowok itu. Tapi kencan pertamanya berantakan gara-gara keisengan Lupus. Nggak
tau apa karena Lupus keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang lagi
nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas secara diam-diam dia meletakkan tip
kecil miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua nge-date. Secara
otomatis, tip yang biasanya dipakai buat wawancara itu merekam semua percakapan
Lulu dengan cowoknya. Dan bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika besok
paginya Lupus memutar ulang hasil rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu
di depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia langsung mengacak-acak tempat
tidur. Dan sejak saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih tentang Lulu
dengan cowok manapun. Sampai kejadian sekarang ini.
Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-benar
nggak mau memperalat adiknya untuk menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya
berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain orang yang ngasih makanan.
Tapi
kalau ada maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu. Bagaimanapun
mengkomersilkan adik sendiri adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena
itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu bersama-sama berjalan ke tempat
pemberhentian bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan segar, saat bulan
masih tersisa di barat (wi, puitis ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk
bicara dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai sesama remaja, sesama
cowok. Asal saja Lulu punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya.
"Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih
nggak mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan selebihnya bisa kamu karang
sendiri. Kan
kamu bisaan kalo bohong!" sahut Lulu.
"Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau
konsentrasi ke pelajaran kan?"
"Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe."
Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu.
Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan. Sehingga cowok itu pun bisa
mengerti. Jawabannya pun terdengar sopan sekali, "Saya mengerti. Okehlah
kalau memang belum saatnya bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun.
Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari betapa saya sangat mencintainya.
Kamu tau, biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral cinta, sehingga membuat
derita pada sang cewek. Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah ibarat api
olimpiade yang tak kunjung padam...!"
Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti,
tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh senang, berarti masalahnya telah
beres. Dan Lulu pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab sejak saat itu si
pinokio itu tak pernah datang lagi.
***
Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang Lupus
pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak kejadian itu, dia sering melamun.
Bengong sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga, apa adiknya telah kena
pelet. Satu dua kali Lupus tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya dia
buka mulut juga.
"Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu.
Saya kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir saya baru mikir bahwa
semua kata-katanya itu benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia datang
kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu,
dak tak sengaja saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati membawa barang
yang saya butuhkan. Buku pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa hutang
budi. Merasa dosa telah mengecewakan dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya?
Padahal bisa saja saya belajar mencintainya."
Lupus tertegun.
"Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai
mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan menyesal. Percaya deh. Oke,
untuk beberapa saat kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu akan merasa
terjebak. Ingin melepaskan diri tapi nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu,
untuk serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh banyak mencoba. Seseorang
itu untuk memilih pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon. Kita kan tak mungkin bisa
menilai satu yang terbaik tanpa membandingkannya dengan yang lain. Makannya,
Lu, kamu nggak salah. Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan begitu kamu
kan akan
matang sendiri."
"Kamu emang pinter berkicau, Pus!"
ledek Lulu gembira.
***
Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai
tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar handuk untuk cepat-cepat mandi.
Mandinya juga ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini mendingan, dia pernah
saking nggak sabarannya, langsung jebur ke bak mandi.
Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja
makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat itu Lulu sudah siap pamit.
Lupus memaki, "kamu kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa
sih?"
Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia
ngeloyor ke depan.
"Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar
nih!" teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya sampai belepotan. Tapi
Lulu tetap ninggalin. Dan ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di situ
Lulu sudah siap duduk di boncengan motor seorang cowok kece. Masih muda. Dan
cowok itu mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus terbengong-bengong di
pinggir jalan. Pantesan aja Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu menelusuri
jalan. All alone. Tanpa seorang teman.
Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang
cewek yang asyik sendirian dengan motor bebeknya. Lupus pun dengan semangat
menyetopnya.
"Eh, ikutan dong sampai ke depan!"
sahut Lupus.
"Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!"
maki cewek itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus yang memaki-maki tak
keruan.
0 komentar:
Posting Komentar