PPS, Posma, Plonco, Mapram, Mapras atau apa kek
namanya, persetan!
Gini ya, sebetulnya saya masih nggak ngerti apa
yang bisa ditarik dan didapat dari program kuno norak tersebut. Coba apa? Apa
hikmah pelajaran yang didapat dari itu semua? Terus terang, saya antipati
dengan yang begituan itu. Hanya orang-orang yang bodo aja yang mau terjebak
ikut gituan' Beneran. Saya heran, kok ya selama ini ada orang yang mau ngikut
program gituan. Apa sih SMA Merah Putih' itu? Kayak lembaga yang gimanaaa gitu.
Mau masuk aja harus ikut PPS, Posma, Mapram, Mapras, Plonco, dsb, dst, dll....
Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum
temu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat mental, tahan cobaan, dsb!
Kebanyakan malesnya. Sekolah cuma buat formalitas, iseng-iseng daripada
nganggur. Numpang bercanda, nggosip, nampang, cari perhatian, nyombong... wah,
macem-macem deh. Iya, kan?
Hayo, ngaku aja.
Makanya, buat apa ikutan program tersebut?
Apalah artinya jika setelah itu kita masih
bersikap childish. Kekanak-kanakan. Apa tujuan program itu diadakan! Jawaban
dari mereka-mereka adalah (sudah pasti) klise, "Begini, soalnya agar para
siswa nantinya cinta pada sekolah , mentalnya kuat. Ini kan sebagai tes mental. Sebagai cobaan.
Supaya begini agar nanti begitu...."
Gombal!
Ketahuilah bahwa tes mental yang sebenarnya ada
pada kehidupan yang sedang kita jalani. Bagaimana kita menghadapi segala cobaan
yang menerpa diri kita. Itu baru namanya tes mental! Bukan seperti Posma,
Mapras, Plonco..., yang begini sih apaan. Norak! Yang ada di kegiatan tersebut
cuma sandiwara belaka. Kepura-puraan yang nggak lucu. Permainan orang-orang
frustrasi, gila hormat, gila perhatian, kompensasi negatif..., pokoknya nggak
sehat sama sekali.
Apa sih yang mau ditunjukin oleh mereka-mereka
sebagai panitia program tersebut? Memerintah ini dan itu, marah-marah,
membentak-bentak orang tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni ye...).
Emangnya main drama? Atau mungkin mereka adalah para seniman gagal? Bisa jadi.
Tapi, apa nggak ada cara yang lebih manusiawi?
Terutama kalau di universitas-universitas. Ih! Kan ada penataran P4 sebagai gantinya itu
semua. Jangan dikira orang-orang yang digojlok .itu nggak sakit hati, lho!
Mereka kan
juga manusia, bukan robot.
Ada
juga yang bilang sebagai perkenalan antara para senior dengan murid baru.
Kayaknya kalau cuma sebagai perkenalan nggak perlu pake guling-gulingan di
tanah, push-up, muka dicoreng-coreng kayak Hiawata (kalo nggak tau Hiawata,
Humpa-pa juga boleh!)
Demi Tuhan, dari kecil saya nggak punya cita-cita
untuk diperlakukan seperti itu. Udah gitu seharian lagi. Kadang sampai malam
(katanya!).
Coba bayangkan, bagaimana kalau sampai ada yang
pingsan lalu koit. Mungkin saya terlalu berlebihan dan emosional dalam melihat
masalah ini, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi. Soalnya daya tahan orang kan nggak sama. Terutama
yang cewek-cewek. Coba bayangkan, bagaimana perasaan orang tua mereka jika anak
yang diharapkan untuk jadi 'orang', meninggal hanya gara-gara ikut Posma. Saya
bukan mengada-ada nih. Emang bener ada. Adda aja! Adalah bohong alias nonsense
bahwa Posma itu untuk menambah keakraban antara para senior dengan siswa baru
(sok akrab ah!). Kalau mau akrab, kenapa nggak kenalan aja secara baik-baik
dalam suasana damai dan bersahabat. Kan
lebih simpatik dan beradab, ya nggak? Percaya deh, program 'pembantaian' itu
sungguh nggak sehat. Cuma menimbulkan rasa tak senang, rasa dendam, rasa
permusuhan dan rasa-rasa antipati. Pokoknya yang bersifat negatif.
Bayangkan, udah uang sekolah masuk SMA ini mahal,
ikut Posma (bayar uang formulir juga), disiksa.... Wah! Tapi kok pada nurut
aja? Aneh tapi nyata. Berontak dong! Kita kan di negara ini punya hak untuk bersuara.
Bebas. Merdeka. Hak untuk tidak diperlakukan semena-mena. Sesuai dengan UUD '45
pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 (Cie... hapal ni ye...). .
Jika saja saya nantinya mengalami hal-hal seperti
tersebut di atas dan untuk itu saya diberi sertifikat Posma/PPS, saya akan
bakar kertas sialan itu.
Fortunately, I didn't have such a disgusting,
miserable and useless thing. Because I didn't and I'll never participate in an
uncivilized program for the rest of my life. Honest! (Yang masih susah
menangkap arti kata-kata ini, atau emang nggak ngerti sama sekali, bunuh diri
aja mendingan.:..)
Sembilan dari sepuluh dokter yang saya minta
pendapatnya mengatakan bahwa Posma tidak baik dan sangat tidak sehat bagi
perkembangan mental. Memperlemah daya hidup. Dengan kata lain, hanya
orang-orang idiot sajalah yang mau mengikuti, dan hanya orang-orang yang
berpenyakit jiwa sajalah yang terlibat sebagai panitia.
Bener. It's okay? Mudah-mudahan selebaran ini
bisa jadi input buat kita. Agar mata hati kita jadi terbuka. Abu Nidal.
***
Itulah selebaran yang beredar tadi pagi. Ditempel
di tembok-tembok, di papan pengumuman atau di kantin. Dan tentu saja para
panitia Mapras seperti ditempeli tai kodok wajahnya. Marah, malu, kesal. Tapi
siapa yang mengedarkan selebaran gelap itu? Yang meminjam nama teroris jebolan
PLO itu? Gila, penulis gelap itu benar-benar mau cari setori.
Bisa ditebak, Andang-lah yang paling kebingungan
dengan beredarnya selebaran gelap tersebut. Soalnya, dia yang paling ambisius
mengadakan program Mapras itu.
Kemarin-kemarin, dia memang nampak (sok) sibuk
sekali ngurusin pembentukan panitia. Walau bukan ketua OSIS, tapi semangatnya
melebihi semangat kaum pejuang angkatan '45. Waktu ada rapat panitia, bicaranya
berapi-api. Kayak uler naga.
Makanya, kini dia bingung sekali. Dengan cepat,
dia mengumpulkan para anak buahnya dalam rapat gelap seusai sekolah.
"Bagaimana ini? Semua bisa berantakan.
Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan kayak gini. Kalian tau semua, pamflet
itu sudah tersebar ke mana-mana. Semua anak baru pasti sudah membaca. Dan
bagaimana kalau mereka terpengaruh dan mengadakan aksi protes? Huh, sial. Pasti
ada oknum yang nggak suka sama rencana kita bikin Mapras. Memang sih, kegiatan
kayak begini nggak boleh lagi. Tapi yang namanya tradisi nggak boleh hilang
dong!" Andang nyerocos.
Teman-temannya cuma manggut-manggut aja.
Lupus juga. Lagi nggak interes sama kicauan
Andang. Dia ngamuk berat. Ini kan
jamnya orang tidur siang. Mending kalau rapatnya ada konsumsi. Huh!
Tapi kamu nggak tau masalahnya, ya? Gini. Si
Andang, dengan rekomendasi dari ketua OSIS- terpilih jadi ketua program Mapras.
Kegiatan ini sendiri secara tertulis sebetulnya tidak boleh. Pun di
universitas-universitas. Diganti dengan yang lebih mendidik, seperti P4,
kebersihan kelas, dan sebagainya! Tapi, seperti biasa, apa yang tertulis tidak
selalu cocok dengan kenyataannya. Apalagi SMA Merah Putih ini bukan sekolah
negeri. Jadi peraturan bisa sedikit lain dengan negeri. Dan Mapras itu sudah
mentradisi di setiap tahun ajaran baru. Nggak berat sih, nggak kayak di
universitas swasta. Tapi ya yang namanya Mapras, tetap saja nyebelin. Jadi
nggak adil dong kalau tahun ini program gelap itu ditiadakan. Makanya anak-anak
kelas dua dan tiga ngotot mau mengadakan Mapras. Sedangkan guru-guru cuma
angkat bahu saja, memaklumi acara yang sudah mentradisi ini.
Tapi kalau anak-anak kelas satunya berontak,
berarti mengancam kelangsungan jalannya kegiatan tersebut. Beneran. Soalnya
secara resmi, anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.
Makanya mereka sekarang kebingungan. .
"Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita
harus mencari siapa yang membuat dan menyebarkan pamflet tersebut? Ayo dong. Ada pendapat nggak?
Lupus, kamu kok dari tadi diem melulu. Gimana nih wartawan kita...."
Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan
males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih banget. Gara-gara di- PHK sama
ceweknya, Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk ngasih ide. Andang pun
melemparkan pertanyaan kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim playboy duren tiga, Andy, Roni,
bahkan Ruri biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri nggak banyak omong.
Mungkin lagi sakit gigi. Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah tiga anak
jadi korban, dan pindah tempat duduk. Nggak mau dekat-dekat dia lagi.
Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS muncul.
Anak-anak lain juga mulai berdatangan. Membahas kemungkinan siapa yang membuat
pamflet itu. Membahas jalan keluar yang ditempuh. Ketika mereka saling
berdebat, Lupus jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap keluar.
Dia memang kurang suka acara begituan. Mending
jajan, terus pulang.
***
Sampai keesokan harinya, mereka para senior belum
menemukan jalan keluar yang baik. Juga siapa penulis selebaran gelap itu. Meski
sudah dipastikan ada dua kemungkinan, anak baru atau justru seorang senior yang
nggak setuju diadakannya acara tersebut.
Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli.
Ketika bel istirahat, dia duduk sendirian di
belakang kantin. Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun. Secara iseng
membaca selebaran yang konon membuat heboh itu. Sebagian memang sudah dirobek,
tapi secara misterius bisa muncul kembali.
Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh juga,
gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa
mengungkap kan
rahasia si penulis gelap tersebut. Ini pasti bikinan anak baru. Yang nggak
setuju diadakan Mapras. Karena di beberapa bagian, dia menyebutkan bahwa dia
belum pernah mengikuti Mapras. Dan meski tampak berusaha menghilangkan
identitas, emosinya menunjukkan emosi seorang cewek. Ditambah beberapa kalimat
berbahasa Inggris yang kelihatan nge-prof. Aha, dengan data-data ini masak
nggak bisa menemukan siapa penulisnya?
***
Lupus sama sekali tak mengira kalau yang namanya
Rina itu orangnya kecil, lembut dan ehm, manis. Anak itu begitu pucat dan
ketakutan ketika sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
"Nggak sulit, tadinya cuma menebak aja. Saya
melihat ada tiga petunjuk. Pamflet itu menunjukkan kelincahan, emosi, dan
kemampuan berbahasa Inggris si penulis. Tak banyak yang memiliki tiga kelebihan
seperti itu. Maka saya pergi ke kantor administrasi sekolah. Melihat semua data
anak kelas satu. Kamu mungkin ingat, ketika baru masuk sekolah setiap siswa
diharuskan menyerahkan biografi singkat beserta prestasi yang pernah diraih,
untuk memudahkan penyaluran pelajaran ekstrakurikuler. Iya, kan? Dan di situ saya membaca namamu. Rina.
Prestasi: juara mengarang berbahasa Inggris yang diadakan oleh UNICEF. Nah,
klop sudah. Hanya kamu yang memenuhi tiga petunjuk itu. Ditambah lagi alamat
rumahmu dekat dengan sekolah. Itu memudahkan kamu untuk menempel pamflet di
malam hari. Dan sekaligus memudahkan saya mencari rumahmu.
"Ngomong-ngomong, jago juga Inggris-mu.
Belajar di mana? Pernah ke luar negeri, ya?" tanya Lupus panjang lebar.
Rina tak menjawab. Dia masih tampak ketakutan.
"Tap... tapi, Kak, saya tidak... eh, maksud saya,
saya cuma melampiaskan rasa kesal saya. Saya benci sekali acara mapras-maprasan
seperti itu."
"Kenapa?"
Dia tak segera menjawab. Seperti
menimbang-nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.
"Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut
Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh membawa balon gas yang banyak
ke atas gedung untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia yang merokok.
Apinya mengenai balon tersebut. Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar.
Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa yang menanggung risiko kalau
begini?"
Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.
Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara
tersebut. Apalagi kalau mendengar cerita-cerita orang lain yang tampak sadis.
Pantas saja Rina begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.
"Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan kini juga mulai
dilarang kalau sampai keterlaluan. Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA
kita, nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan halaman, kelas, dan yeah,
dibentak-bentak sedikit. Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu adalah
masa yang paling berkesan buat kita, sebagai remaja. Saat kita merasa senasib,
nggak beda kaya atau miskin. Sama-sama dicabut haknya. Pokoknya berkesan deh,
meski kalau disuruh mengulangi... wah. Amit-amit. Ogah. Saya juga tadinya benci
sekali. Tapi pas malam terakhir, di mana kita semua bikin acara ke luar kota, wah- rasanya
terharu sekali. Rugi deh, kalau nggak pernah ngerasain."
Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri
tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati menurunkan izin resminya, sehingga
anak-anak kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja Lupus tetap
merahasiakan identitas Rina, sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para
panitia sudah melupakan selebaran tersebut.
Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di
antara para siswa baru yang dikuncir lima
rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua siswa baru itu sedang mendapat
tugas meminta tanda tangan para senior sebanyak-banyaknya. Tentu saja para
senior jadi serasa bintang film ngetop, dikejar-kejar untuk dimintai tanda
tangan.
Hm, Rina bener juga. Anak-anak senior memang lagi
pada norak. Apalagi Boim. Dengan kampungannya dia menyuruh setiap siswa baru
merayunya untuk mendapatkan satu tanda tangan.
"Lupuuuus..." panggilan nyaring di
kejauhan mengagetkannya. Lupus menoleh, eh... itu dia si Rina. Berlari-lari
kecil ke arahnya sambil tertawa senang.
"Trims ya, kamu nggak ngadu soal selebaran
itu. Bayangin aja kalau para senior tau. Wah, saya bakalan dikerjain. O ya,
minta tanda tangannya dong, Kak Lupus."
Lupus tersenyum sambil memberikan sepuluh tanda
tangan di buku Rina.
Dan ketika Mapras berakhir, semua siswa baru
berkumpul membentuk lingkaran api unggun. Udara malam dingin menggigit. Tapi
kehangatan menyelimuti masing-masing siswa. Irvan, tampak lengket dengan salah
satu siswa baru. Boim juga begitu. Apalagi Andang. Wih, mesra. Maka nggak salah
kalau Lupus pun berdiri berdekatan dengan Rina.
Semua menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Tapi sebetulnya lagu itu lebih pantas Lupus
nyanyikan untuk Poppi, bukan untuk Rina. Dan kayaknya sekarang sudah jelas, apa
arti Mapras bagi mereka semua. Ya, apa lagi sih kalo bukan cari jodoh. He he
he....
0 komentar:
Posting Komentar