Lupus dan Aji masih berada di depan rumah artis
penyanyi Evita Fanny. Benar-benar tak tau apa yang harus dilakukan lagi. Meski
Lupus sudah lumayan sering wawancara begini, tapi toh dia masih belum bisa
santai. Malah sering kedapatan lagi dorong-dorongan atau ber-suit-ria sama
temannya untuk menentukan siapa yang masuk duluan. Kan malu-maluin banget tuh! Tapi ya nggak
apa-apa. Lupus nggak pernah putus asa Cuma karena hal-hal yang begitu.
Segalanya kan
bisa saja karena biasa kalau kita sering melakukannya.
"Kita bikin keributan aja di sini, nanti kan mereka pada
keluar!" sahut Lupus kumat gilanya.
"Gila lu, nanti kalau diciduk polisi
gimana?"
"Emangnya kita teroris? Maksud saya, kita
Cuma mengadakan aksi unjuk perasaan, gitu!"
"Kamu kalau sudah nekat memang gawat, Pus!
Terus, ngapain dong?"
"Misalnya kita tekan bel terus-terusan. Kan lama-lama mereka
kesal lalu keluar. Nyamperin kita atau malah ngusir kita. Tapi nggak apa-apa.
Namanya juga orang usaha. Kan
nggak ada salahnya!"
"Iya, ya."
Dan mereka pun secara bergantian menekan bel.
Berulang-ulang. Ada
suara anjing yang menggonggong lagi. Sampai akhirnya wajah seram yang tadi
muncul lagi di balik pagar yang ke tinggi. Siap menyemprotkan amarahnya. Tapi
Lupus cepat-cepat menyapa, "Assalamualaikum! Kayaknya kita pernah ketemu
deh. Kapan, ya? O ya, beberapa menit yang lalu. Apa kabar? Gini lho, saya dari
majalah..."
"Bosen! Kalian ini belum pernah mendapat
pelajaran ya? Sudah pernah merasakan gimana enaknya digigit si Pleki?"
"Belum. Siapa itu? Bapak kamu ya?"
"Sialan! Kalian benar-benar kurang
ajar!" bentaknya marah sambil melompat turun. Tapi baru orang itu membuka
pintu pagar, ada suara yang memanggil. Terpaksa marahnya tertunda dan langsung
tergopoh-gopoh menghampiri si pemanggil.
"Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya
mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-barang belanjaan tadi pagi
diturunin dulu," sahut si pemanggil yang ternyata Evita itu.
"Baik Nona."
"O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar
macam tadi? Pacaran sama babu sebelah, ya?"
"Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil.
Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara. Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya
udah, saya usir saja. Tapi kok ya nekat anak itu!"
"Ya, Nona, dan dua pemuda kecil yang
manis-manis itu adalah kami sendiri!" tiba-tiba ada suara sopan menyambung
dari belakang Bang Kerpa. Bang Kerpa langsung menoleh kaget!
"Hei, kurang ajar. Bagaimana kamu bisa masuk
kemari? Loncat pagar, ya?"
"Bagaimana? Mudah. Siapa yang suruh pintu
pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan, sementara anjing kamu itu asyik
mengejar-ngejar kucing sampai keluar pekarangan rumah...," jawab Lupus
kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat
memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya. Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan
dengan Evita Fanny.
Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih
muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun. Wajahnya, bukan main. cakep banget.
Dengan bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai kucing, kulit tubuh
yang kuning langsat. Wah, emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi.
Dengan penampilan yang serba sempurna untuk seorang gadis remaja, siapa sih
yang enggak betah memandangi berjam-jam?
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa?" tanya Evita pelan.
Suaranya, wah. Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja.
Di situ siapa?" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh?"
"Iya, hebat ya?"
"Kok masih kecil? Wartawan bo'ongan ya? Mana
kartu pers kalian?"
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak
percaya, boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau
apa?"
"Wawancara. Boleh, kan?"
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin
janji. "
"Sudah, kok!"
"Kapan? Saya kok belum dikasih tau?"
"Lima
menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh kamu yang cowok itu dengan noraknya
naik-naik ke atas pagar...."
"Ah. Tapi bolehlah kalau kalian memaksa.
cuma, sebentar aja, ya? Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan
masuk.
Di ruang tamu, suasananya cukup membuat keduanya
terkesima. Satu set mewah kursi tamu besar warna biru, dengan karpet yang bagai
rumput manila terhampar megah. Dipadukan dengan hiasan-hiasan dinding yang
serba biru, menyejukkan suasana. Sementara foto close-up Evita Fanny terpampang
megah di dinding sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang disusun rapi.
Dari dalam mengalun lembut musik instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai
judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan Lupus dulu sering mendengar ayahnya
memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.
Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga.
Padahal kalau dibandingkan dengan lagu-lagu yang sering dibawakannya yang
berlirik dan bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali.
Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu?"
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok
ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama teman-teman seperjuangannya di
kantor. Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu walau suka ngaku orang
kaya, tapi kalau lapar malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap
semoga setelah bangun nanti rasa laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang makan. Tapi ya tak
apa. Malah memudahkan kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-sedih. Nggak
usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal tulis aja pengalaman pribadinya, beres!
Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita sedih.
Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus
yang lagi sedikit panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang manis.
Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi begitu kalau diliatin cewek cakep.
Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan secarik
kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita tergelitik untuk melirik apa yang
tertulis di balik daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia merebut secarik
kertas itu.
"Lihat deh. Boleh, kan?" "Eh, jangan...," Lupus
kaget, tapi Evita sudah merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya bikin
supaya nggak lupa. Soalnya terus terang, saya kalo lagi grogi suka lupa apa
yang mau ditanya. Balikin dong...."
Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening membaca
kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lupus jadi curiga.
"Kamu mau wawancara atau mau belanja? Kok
isinya ada ikan asin satu kilo, cabe rawit tiga biji, jengkol sepuluh biji,
permen karet..."
Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh, God!
Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan belanja yang dititipkan ibunya tadi
pagi. Dengan wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia buru-buru
mengantonginya. Diganti secarik kertas yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.
"Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang
nanyain dari sini. Oke?" balas Lupus keki. Evita tertawa lepas. Keakraban
baru saja terjadi.
"Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya
mau pergi!" .
Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai
suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan sedikit berat, dia pun bangkit.
Lupus cepat-cepat menahannya, "Eh, jangan repot-repot!"
"Lho? Saya mau ganti baju, kok. Saya kan mau pergi. ..."
"Ooo, kirain mau bikinin minum...."
"Ya ampun, saya lupa. Kalian haus, ya?"
"Ah enggak. cuma saya mikir, kok samaan sama
di rumah ya? Kalau ada tamu dari jauh suka lupa nyuguhin minum. Padahal kan mungkin saja tamu
itu merasa haus setelah berjalan begitu jauh. Iya nggak, Ji?" celoteh
Lupus sambil melirik ke arah Aji yang hampir mati kehausan.
Lagi-Iagi Evita ketawa. Dia cepat-cepat
menyiapkan minuman.
***
Dan Evita ternyata artis yang baik. Dia menawari
Lupus dan Aji ikut ke studio sambil melanjutkan wawancaranya di jalan. Di sana Evita cerita banyak.
Tentang tiga albumnya yang direkam dalam waktu singkat. Tentang kasetnya yang
laku keras. Tentang bonus mobil yang dia dapat. Pokoknya semua.
Buat artis penyanyi, dia memang memiliki
segalanya. Meski lagu-lagunya hampir setipe, tentang kecengengan cinta, tapi
suaranya tidak mengecewakan. Padahal banyak anggapan yang mengatakan penyanyi
pop sekarang cuma modal tampang doang, tapi Evita merupakan pengecualian.
Karena dia punya vokal dan penghayatan yang baik buat lagu-lagu komersil yang
dibawakannya.
Sebaik-baiknya lagu pop, kalau tidak didukung
penghayatan dan vokal yang sempurna, tak akan berhasil. Omong kosong buat yang
mengatakan untuk jadi penyanyi cuma modal tampang doang. Setinggi-tingginya
teknik studio yang bisa menolong vokal sang artis, tidak akan membantu banyak.
Paling jadinya seperti komet. Muncul sebentar, ngetop, lalu menghilang. Tak
terkenang.
Ini yang ingin Lupus tekankan pada Evita.
Penyanyi ini sangat berbakat. Tapi kenapa begitu sering mengeluarkan album yang
senada? Apa mau pakai aji mumpung seperti yang lainnya,?
"Seharusnya kamu lebih selektif, Vita.
Batasi pengeluaran album kamu. Kamu punya vokal yang baik. Saya sering lihat
kamu nyanyi lagu-lagu daerah di tivi. Di situ kelihatan sekali kemampuan vokal
kamu. Bukan sekadar penyanyi pop murahan. Kalau kamu lebih jarang mengeluarkan
album, kamu bisa mengikat fans kamu. Membuat mereka penasaran menunggu
terbitnya album-album kamu yang berikutnya. Dan dengan sedikit variasi, mereka
tak mudah bosan. Dan kamu nggak bakalan cepat dicampakkan fans kamu yang merasa
bosan karena kamu keseringan mengeluarkan album yang senada. Kamu jangan mau
dikerjain para produser yang cuma mau mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya,
tanpa memikirkan nasib kamu setelah itu. Mereka mudah saja mencari penyanyi
baru. Sedang kamu apa? Itulah, Vita. Makanya, ngapain sekarang ke studio? Lebih
baik kita ke fried chicken atau ke mana, gitu. Ngomongin masalah ini. Kamu
jangan seperti mesin. Disuruh ke studio, disodori lagu, lalu langsung
menyanyikannya hanya dengan mempelajari sebentar tanpa kamu dikasih kesempatan
memilih lagu yang cocok buat karakter vokal kamu. Buat selera kamu. Eh, sori.
Saya kok jadi cerewet banget, ya? Tapi gimana kamu aja deh. Mau ke fried
chicken atau ke studio..."
Evita terdiam. Makhluk yang duduk di sampingnya
ini memang kelewat banyak omong, kayak tukang obat. Apa emang begitu ya, kalau
wartawan ngerayu minta traktir?
"Kamu mau nodong atau mau nyulik saya?"
sahut Vita galak.
"Dua-duanya. Tapi tebusannya nggak berat.
Fried chicken!"
Dan Lupus kegirangan setengah mati ketika Volvo
Evita berbelok ke fried chicken.
***
Beberapa hari kemudian, Lupus sudah berada di
kantor redaksi lagi. Dia lagi excited banget karena baru dapat telepon dari
Evita. Gimana nggak senang, Evita meneleponnya dalam keakraban.
"Meski saya kadang ragu apa kamu ini
wartawan gadungan atau wartawan beneran, atau malah tukang obat yang buka
praktek liar, tapi saya kok ya mikirin juga apa yang kamu bilang. Thanks. Saya
suka kamu merhatiin saya kayak gitu. Saya udah batalin jadwal rekaman dalam
waktu dekat ini. Bos memang marah dan kaget, tapi lama-lama dia pasti ngertiin
saya. Sebab saya ingin dia yang butuh saya, bukan saya yang butuh dia. Saya
udah minta untuk menyeleksi lagu, menyeleksi aransemen. Kalo kamu mau tau, saya
sendiri di rumah nggak pernah nyetel lagu-Iagu saya. Kamu denger sendiri kan waktu ke rumah? Saya
memang nggak pernah bangga pada lagu-lagu saya sendiri selama ini. Sekali lagi
trims berat buat kamu. Kapan mau maen ke rumah lagi?"
Itulah. Makanya Lupus jadi senyum-senyum terus.
Seriang Mas Veven yang baru masuk tadi langsung menodongnya dengan teka-teki
orisinal karyanya sendiri, "Ayo, apa bahasa Indonesianya: Mother goes to
the market?"
"Apaan, ya? Nggak tau tuh!" sahut Lupus
(pura-pura) nggak tau.
"Belanja ni yee...," jawabnya girang
setengah mati. Soalnya jarang-jarang teka-tekinya nggak bisa ketebak Lupus.
Atau juga seriang Mas Wendo yang lagi disalamin
temen-temennya gara-gara nongol di tivi dalam acara FFI. "Ah, apalah
artinya orang seperti saya ini...," sahutnya ngerendahin diri, ninggiin
mutu.
Tapi yang Lupus heran, sejak saat itu Aji nggak
pernah kelihatan lagi. Pun di sekolahnya. Sebab Aji memang teman sekolah, cuma
lain kelas. Padahal dia kan
teman seperjuangan sewaktu wawancara Evita. Maka besoknya Lupus khusus mencari
dia ke kelas-kelas. Dan ketemu lagi mojok di kantin. Tetap dalam stil cuwek
walau Lupus kelihatan menghampiri. Lupus jadi inget Iwan yang redaktur musik di
Hai. Doi juga cuwek berat kalau lagi dengerin walkman. Dipanggilin nggak
nyaut-nyaut! Ada
kebakaran juga cuwek aja.
"Halo, Ji, kamu sakit ya? Kok nggak pernah
keliatan?" tegur Lupus ramah. Aji malah melengos. Lupus jelas heran.
Setelah diusut-usut, ternyata dia sempat keki karena waktu itu Lupus akrab
banget dengan Evita. Dia sampai tak dikasih kesempatan ikutan ngobrol. Padahal kan dia udah dandan rapi
banget.
Lupus jadi ketawa.
"Aduh, Aji, kamu cemburu ya? Apa kamu pikir
saya naksir dia? Wah, jangan mimpi dong. Saya cukup tau diri kok. Apa enaknya
sih pacaran dengan artis terkenal kayak gitu? Bikin tekanan batin aja. Kita kan belum terbiasa dengan gaya hidup mereka. Yang easy come easy go
itu. Wah, mending jangan deh. Lagian belum tentu dia bisa terbuka sama saya
kayak gini kalau dia jadi pacar saya. "
"Jadi mendingan seperti sekarang. Saya cuma
bikin laporan yang bagus buat majalah. Masa sih persahabatan kita bisa putus
cuma karena hal-hal yang sepele kayak gini, Ji? Lupakan semuanya, Ji, kita
kembali seperti dulu. cari bintang baru lagi yang cakep, terus kita wawancara
sama-sama lagi. Siapa tau yang berikutnya jodoh kamu. Hehehe.... Gimana? Asyik,
kan?
Petualangan begini penting lho untuk mengenal beberapa karakter cewek-cewek.
Jadi kalau udah dapet pacar kayak gitu nggak kaget lagi. Satu hal yang harus
kita jaga, jangan mudah ge-er kalau ada orang-orang seperti itu nampak memberi
perhatian yang lebih kepada kita. Karena kan
belum tentu dia naksir kita. Iya, nggak?"
Aji bangkit. Memandang tersenyum ke arah Lupus.
Lalu meninju perutnya dengan pelan. Keduanya pun tertawa keras berbarengan.
0 komentar:
Posting Komentar