PERNAH sakit gigi?
Kalau mau tau rasanya, tanya aja sama Lupus.
Sekarang ini dia lagi uring-uringan banget nggak bisa tidur gara-gara sakit
gigi. Rasanya, ngujubileh! Senut-senut kayak disetrum listrik ribuan watt.
Kalau disuruh milih, Lupus lebih mau sakit hati daripada sakit gigi. Kalau
sakit hati kan
setidak-tidaknya bisa cuwek. Nggak usah dipikirin, walau hatinya dongkol. Tapi
kalau sakit gigi? Gimana bisa cuwek? Tidur aja nggak bisa. Padahal segala macam
obat sudah dicoba. Dari ramuan tradisional macam minum air garam, menetesi gigi
dengan getah daun kemboja, sampai minum antibiotika, tetap aja terasa sakit.
Dasar penyakit nggak tau diri. Padahal kan ini sudah lewat jam
dua belas malam. Waktunya orang lain tertidur nyenyak. Mbok ya ditunda dulu
dilanjutkan besok pagi. Kasihan kan
si Lupus nggak bisa tidur. Mana besok pagi ada ulangan lagi.
Tapi Lupus memang bandel juga sih. Kebanyakan
makan permen karet atau makanan yang manis-manis lainnya. Makanya nggak heran
kalau giginya jelek banget. Pada bolong-bolong. (Tapi nggak kuning, lho. Dia
cukup rajin gosok gigi kok. Sehari tiga kali.)
Sebetulnya tadi siang, waktu Lupus mengeluh terus
karena sakit gigi, ibunya sudah menyuruh ke dokter gigi. Tapi Lupus ogah. Dia paling
alergi pergi ke dokter. Ngeri ngeliat alat kedokteran yang tajem-tajem.
"Serasa menyerahkan diri untuk dibantai!" tolaknya.
Dan akibatnya sekarang? Semaleman dipaksa
begadang. Rasanya pingin banget dia teriak keras-keras. Habis keki, kok yang
lain bisa-bisanya tertidur lelap. Apalagi si Lulu, adiknya. Ngoroknya terdengar
saingan dengan suara kodok-kodok di luar. Sinkron banget. Seolah ngeledek
Lupus. Hampir-hampir aja Lupus punya niat jahat membunyikan weker antiknya yang
bisa ngebangunin orang sekelurahan. Biar pada ikutan bangun.
Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih
berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.
"Kan
sesuatu itu nggak ada yang abadi...," kilahnya. Tapi sampai sepulang
sekolah, penyakit itu masih betah mengidap di giginya yang kecil - kecil.
"Mungkin kamu jarang sikat gigi...,"
cetus Boim kala mereka barengan pulang sekolah.
"Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak
gitu...!" sahut Lupus kesal.
Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya.
Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus nggak ketawa sedikit pun.
"Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang
lain kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus sewot.
"Siapa bilang? Kamu aja yang nggak punya
sense of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu negaranya dibom Amerika sempet- ngelawak
juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja bingungnya kayak orang kebakaran
jenggot...."
Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau?
Baca di mana?"
"Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama Reagan. Isinya
singkat, 'Ngebom ni ye...' "
Lupus jadi setengah mati menahan senyum.
Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan
bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi. Whatever will be, will be. Mau
dicabut kek, dibor kek, atau. sekadar dikritik, '0, Lupus, betapa Jeleknya
gigimu....' Terserah!
Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di
rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan pasrah sampai seorang suster
memanggil namanya dan menyuruh masuk.
"Silakan lho, jangan malu-malu...,"
kata suster itu genit.
Lupus mencibir sewot.
Dan di dalam, dia diinterogasi dengan
pertanyaan-pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi?'; 'Punya sikat gigi
berapa di rumah?'; 'Odolnya pake merek apa?', Apa suka gosok gigi pake batu
bata?'; and so on.
Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi
kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."
Lupus nurut. Dan sempat bergidik melihat
alat-alat pembantai yang berjejer di hadapannya. Sementara dokter cewek itu
memakai penutup hidung (itu lho, kayak orang mau dioperasi), dan menyiapkan
alat-alat pemeriksa dibantu oleh suster. Lupus jadi rada tersinggung. Dikata
mulutnya bau banget apa, sampe perlu pakai tutup hidung segala.
Dokter itu lalu menyuruh Lupus membuka mulut
lebar-lebar.
"Ck.. ck... ck..., giginya jelek amat? Kamu
pasti suka makan makanan yang manis-manis, ya?"
Lupus sudah mengira bakalan dikritik begitu.
Makanya dia tabah.
"Ya, Dokter. Saya suka sekali makan permen
karet, coklat."
"Kayak anak kecil aja. Makanya giginya pada
bolong-bolong begini. Kenapa sih kamu suka yang manis-manis ?"
"Kan
biar tambah manis.... "
Dokter itu ketawa ngakak.
"Oke deh. Sekarang siap-siap aja. Giginya
mau saya tambal. Soalnya kalau terasa sakit, nggak boleh dicabut. Lagian,
selama masih bisa diselamatkan nggak usah dicabut dulu. Jadi tahan aja. Nggak
sakit kok. Paling cuma ngilu sedikit. Siap?"
Lupus langsung menutup matanya rapat-rapat.
***
Siang itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya,
ketika Lulu membangunkan.
"Bangun, Pus, itu ada temen kamu di
depan."
"Aaaah, siapa sih? Tamu kok nggak tau waktu.
Ini kan
saatnya tidur siang.... Suruh pulang aja deh. Saya ngantuk banget...,"
keluh Lupus malas.
Dia memang sudah dua hari ini kurang tidur.
Sekarang giliran bisa tidur, dibangunin.
"Apa-apaan sih kamu? Kayak artis aja."
"Tapi salahnya sendiri datang pada Jam
tidur.... "
"Jam tidur? Sekarang sudah setengah lima, tau! Udah sore. Sana cepet temuin. Kasian
kan datang
dari jauh. Cewek lagi...."
"Hah? Cewek?" Lupus langsung melompat
turun. "Kok nggak bilang dari tadi? Kece nggak?"
"Liat aja sendiri. Ogut mau mandi."
Lupus langsung nyerobot ke kamar mandi. Cuci muka
dulu dan sikat gigi bersih-bersih. Lalu berjalan ke depan.
"Eh, kamu. Kok tumben datang?" sapa
Lupus begitu melihat Rina duduk termalu-malu di teras rumah.
"Iya. Eng... saya abis dari rumah sodara
di ujung gang sana.
Kebetulan lewat sini. Jadi ya mampir aja. Saya juga nggak bisa lama, kok.
Ditungguin Mama. Saya cuma mau ngasih bingkisan ini. Buat kamu. Mau, kan?"
"Buat saya?" Lupus terheran-heran
menerima bungkusan itu.
"Iya. Yuk deh, saya pulang dulu...."
"Eh, tunggu. Eng, kok cepet-cepet
banget?"
"Abis ditungguin. sih. Sampe ketemu deh di
sekolah. Yuk!"
"O... iya deh. Makasih banyak, ya?"
Rina tersenyum malu, lalu gadis kecil itu berlari
ke arah mobil yang berhenti di depan. Sesaat sebelum pergi, dia melambaikan
tangannya. Lupus membalas dengan senyumnya yang lebar. Mimpi apa ya dia?
Lupus segera membuka bingkisannya. Ada secarik kertas yang
jatuh. Berwarna biru muda. Warna favorit Lupus. Lupus segera memungutnya, dan
membaca.
"Buat Kak Lupus,
Kebetulan tadi saya jalan-jalan di pasar swalayan,
dan saya melihat sekotak permen karet dalam kemasan yang manis terpampang di sana. Saya jadi ingat
kamu. Kamu yang suka mengulum permen karet kalau pulang sekolah. Makanya, saya
ingin sekali membelikannya untuk kamu. Supaya kamu senang.
Sekarang permen karet itu sudah berada di
tanganmu. Untuk sekadar nyenengin saya, mau kan kamu memakannya? Sampai abis juga boleh.
Nanti saya kasih lagi deh.
Salam manis,
Rina."
Lupus nggak tau harus ngomong apa. Mau senang
atau, malah sebel. Senangnya karena dia memang naksir si Rina waktu Mapras
kemarin itu. Sebelnya, ya... kamu kan
tau sendiri, saat ini dia baru sembuh dari sakit gigi. Masak disuruh makan
permen karet? Satu kotak, lagi.
Tapi siapa sih yang bisa mengukur kekuatan cinta?
Apalagi cinta yang baru saja tumbuh. Maka tanpa berpikir panjang, sore itu dia
asyik mengulum permen karet lagi. Demi menebus dosa, karena dia telah keduluan
Rina dalam menyatakan perasaannya. Dan juga supaya Rina nggak kecewa. Dia sama
sekali nggak peduli sama nasihat dokter untuk tidak memakan permen karet lagi.
Dan malamnya, sekali lagi Lupus nggak bisa tidur.
Giginya kumat lagi. Senut-senut kayak kesetrum. Tapi Lupus nggak sedih lagi.
Sebab kali ini, meski nggak bisa tidur, ada yang bisa dipikirin.
Dan kadang, sakit gigi itu enak juga lho....
0 komentar:
Posting Komentar