Aji masih berkutet di kamarnya. Bolak-balik
mencobai semua bajunya. Yang kuning, hijau, putih... dan semua. Bolak-balik ke
kaca. Dan kini, dengan baju kotak-kotak biru, dia seperti tak mengenali siapa
yang di kaca. Siapa ya? Pikirnya norak. Soalnya jadi lain. Kece banget!
Sementara Lupus yang keki kelamaan menunggu di luar, nggak sabar langsung
melongokkan kepalanya ke jendela. Dan terbengong-bengong melihat Aji yang tak
berkedip mengagumi dirinya sendiri di kaca.
"Cerewet. Hampir kelar nih. Ngiri ya kalo saya kelihatan kece?"
"Cepetan deh, kita berangkat. Kan harus ke Hai dulu pinjam tip kecil."
Aji mengangguk dan langsung menyambar kameranya. Dia sudah janjian mau diajak Lupus wawancara penyanyi yang baru naik daun. Kece banget. Makanya baik aji maupun Lupus benar-benar menjaga penampilan. Jangan sampai mengecewakan.
Setelah mengeluarkan pick-up-nya yang rada kadaluwarsa, Aji dan Lupus langsung bertolak ke kantor Hai. Menitipkan kartu pengenal pada resepsionis yang kece, dan langsung naik ke lantai tiga. Di sana suasananya masih seperti biasa. Rame. Ada yang asyik senam pagi, ada juga yang lagi terbengong berat nyari inspirasi. Semua anggota komplet, kecuali beberapa orang yang diculik dengan paksa untuk menggarap majalah baru.
Lupus langsung menuju ke bangkunya. Dan di sana, dia hampir menginjak Tia kecil yang sibuk buka-buka majalah di lantai. Buset, anak ini memang kecil sekali bodinya. Apalagi kalo lagi jongkok begitu, nyaris menghilang di balik tumpukan majalah-majalah. Bapaknya tega juga, masih kecil begitu kok sudah disuruh kerja? Tapi kalo diledek begitu, dia suka ngamuk dan langsung mengeluarkan KTP-nya. Ke mana-mana, termasuk kalau mau nonton film 17 tahun ke atas, dia memang selalu bawa-bawa KTP. Supaya pada percaya kalau dia itu umurnya sudah lumayan banyak. Soalnya dia sering ditolak masuk bioskop, nggak boleh ikutan nonton film orang gede. Malah disuruh pulang, cuci kaki dan langsung bobok. Tapi ada enaknya, kalau ke mana-mana dia ini simpel sekali. Bisa berdiri tanpa membungkuk kalau metro mini-nya penuh, bisa dengan mudah menyusup ke bawah kolong kalau lagi main petak umpet, de el el. Dan ke mana-mana dia selalu membawa bekal dan termos plastik buat minum. Persis anak TK. Tapi dia itu orangnya baik kok. Suka bagi-bagi makanan ke orang. Apalagi kalau kamu iseng muji begini padanya," Eh, kamuu rada tinggikan deh sekarang..." Wah, pasti kamu langsung dikasih coklat. Coba aja. Tapi dia itu paling takut kalau duduk di meja. Soalnya pernah lagi enak-enakan duduk, ditawar orang. Dikira boneka pajangan. Abis lucu sekali.
Ya, itulah sedikit cerita tentang Tia kecil. Buat ngasih gambaran aja, supaya kamu bisa ngebayangin kalau dia itu ternyata lebih besar dari jempol kaki kamu.
Setelah menyiapkan segala macam yang diperlukan, termasuk minta film gratis dari mbak Sri. Lupus slonong boy pergi. Dan sempat mampir sebentar ke mejanya Mas Wendo yang belakangan menghilang entah ke mana. Mejanya nampak seperti biasa. Berantakan. Saingan sama rambutnya. Dan kunjungan Lupus ke mejanya itu bukannya karena kangen, lama nggak ketemu bos-nya itu, tapi karena di mejanya ada sekantong tahu goreng. Siapa tau bisa dirojer, gitu.
"Halo, Mas, lama nggak kelihatan. Sibuk ngurus sandiwara tipi, ya?" sahut Lupus manis, sementara tangannya bergerilya. Menyusup masup ke kantong tahu. Mas Wendo belakangan ini memang aktif di televisi. Ngajarin anak kecil bikin puisi dengan stil sok serius, tawa bikin beberapa naskah film seri tivi. Seperti ACI. Tapi bedanya dia dengan Michael Landon u yang juga dikenal dengan serial-serial tivinya. Mas Wendo orangnya jauh lebih rendah hati. Kalau Michael Landon suka ke-ge-er-an untuk melibatkan dirinya sebagai tokoh utama cerita yang diproduksinya, jadi bapak ideal, jadi malaikat penolong, dan sebagainya! Tapi kalau Mas Wendo cukup puas Cuma jadi tukang pukul bel sekolah.... hehehe. (Eh, jangan bilang-bilang ke dia ya, entar ngamuk..., atau malah suka?)
"Kamu mau wawancara siapa, Lup?"
"Itu... atlet angkat besi," jawab Lupus sembarangan. Sebab kalau dia jujur ngaku mau wawancara artis penyanyi yang kece, Mas Wendo suka maksa kepingin ikut. Kan repot ngurusnya nanti.
Lupus langsung cabut. Hasil kunjungannya ke meja bos-nya itu, yah lumayanlah. Sempat mengantongi beberapa tahu goreng dan cemilan-cemilan ringan lainnya buat sekedar ngisi perut. Dan di bawah, ketika baru keluar dari kompleks perkantoran, sempat ketemu Gun Saratoga. Fotografer muda Hai yang lagi ngejepret anak-anak sekolah yang kece-kece dari atas sepeda balapnya. Dia emang termasuk doyan daun muda. Pacarannya aja sama anak SMP. Dan bakat jepret-menjepretnnya memang terlihat dari kecil. Umur 10 tahun, dia sudah hobi menjepret capung pake karet; lalu umur 15 tahun meningkat menjepret mangga pake katapel. Dan kini, dai boleh bangga bisa menjepret pake kamera beneran.
Itulah Gun. Setelah ber-hai-hai (bukan promosi, lho!) sebentar dengannya, Lupus langsung melesat bersama Aji ke rumah sang artis. Rumahnya lumayan jauh. Di pinggiran kota. Rada ndeso.
***
Dan kini Lupus dan Aji sudah berdiri di depan pagar yang tinggi. Rumahnya tampak begitu besar. Sementara di pagar depan tertulis 'Awas anjing galak; jangan berdiri dekat pagar!' Lupus langsung melompat mundur. Wong dia paling takut sama anjing. Makannya dia tidak pernah berani lari pagi di kompleks perumahannya. Banyak anjing. Soalnya dia kurus. Suka dikejar-kejar anjing. Dikira tulang.
"Kamu aja yang masuk, Ji!" perintah Lupus.
"Enak aja. Emangnya saya tumbal? Kita tekan bel aja. Masak sih nggak ada belnya?"
"Iya. Lagi pula belum tentu beneran ada anjingnya. Siapa tau Cuma nakut-nakutin aja!"
Akhirnya setelah baca Bismillah, mereka memencet bel yang tersembunyi di balik rerimbunan tanaman yang merambat di pagar. Terdengar suara anjing menggonggong dari balik pagar. Lupus langsung melompat mundur.
"Tenang, Pus. Wartawan kok penakut amat?" ledek Aji.
Beberapa saat kemudian, ada kepala yang muncul dari pagar yang tinggi.
"Hei, anak kecil, ngapain di situ? Mau mainin bel ya?" bentaknya galak.
Lupus keki berat dikatain mau mainin bel.
"Saya wartawan, tau! Saya mau ketemu Evita Fanny. Artis penyanyi itu. Di sini kan rumahnya? Dan ini teman saya Aji. Dia fotografer profesional!" sahut Lupus lantang. Orang itu memandang ke arah Lupus dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seolah kurang percaya. Juga kepada Aji yang dibilang fotografer prof itu. Dia curigation. Kok fotografer Cuma bawa kamera yang serba otomatis? Sekali jepret jadi, tanpa mengubah jarak, diafragma, de el el. Wah, pasti ada yang kurang beres.
"Evita lagi pergi! Dia sibuk terus. Kapan-kapan aja datang lagi!"
"Wah bohong! Saya tadi udah janjian sama dia via telepon. Dan dia ada di rumah!" sahut Lupus ngebohong. Soalnya sungguh mati, dia tak tau nomor telepon Evita. Tapi dia juga yakin Evita pasti ada. Dia sudah biasa dibohongi macam begitu. Biasa, artis yang lagi naik daun memang suka jual mahal. Padahal wartawan penting lho, buat menunjang karier mereka.
"Tapi dia mau pergi. Ada rekaman di studio!"
Balas orang itu lagi.
"Kamu tau nggak apa persamaan saya sama kamu?" sahut Lupus lagi.
"Apaan memang?"
"Sama-sama tukang bohong. Makanya sesama tukang bohong dilarang saling membohongi!"
"Sialan jadi kamu juga bohong ya? Kamu pasti bukan wartawan! Kok masih kecil begitu? Mana kartu Pers-nya?"
Lupus langsung merogoh kantung celananya. Tapi..., oh, God! Kartu itu ternyata tertinggal di meja tugasnya di kantor. Bener-bener sial!
"Eh, saya lupa bawa. Tapi beneran kok saya wartawan!"
Orang itu tersenyum sinis.
"Nah, anak-anak, kalau Cuma mau minta tanda tangan, lewat surat aja. Sekarang kalian boleh pulang..." sahutnya dan langsung menghilang di balik pagar.
Lupus cepat-cepat berteriak, " Hei, tunggu! Saya bener-bener wartawan, kok! Kalau nggak percaya, telepon aja ke majalah Hai. Serius!!"
Tapi makhluk itu sudah menghilang. Tinggal Lupus dan Aji yang saling berpandangan.
0 komentar:
Posting Komentar