CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini
menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di luar memang sedang turun hujan
(nenek-nenek juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di lapangan olahraga,
di dekat perpustakaan, dan yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di sana penuh sekali.
Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got
sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan turun belum lama. Dan tadi
pagi, waktu Lupus berangkat sekolah, cuaca belum nampak mendung. Masih cerah.
Tapi kini, air menggenang di mana-mana.
Betapa suburnya alam Indonesia.
Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa
harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang tanpa kehujanan. Bikin kesel aja.
Tapi apa boleh buat? Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di dinding sekolah.
Sambil mengulum permen karet yang rasanya udah ngujubileh pait.
Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia
mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya
kini cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut lapar, lagi.
Sementara teman-temannya yang lain ada yang masih
asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik
di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat besok. Tapi tak banyak.
Kebanyakan dari anak-anak SMA Merah Putih sudah pada pulang. Dijemput atau
pakai kendaraan yang biasa mereka bawa. Ada
juga yang nekat hujan-hujanan.
Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak juga
yang nekat melawan hujan. Bukannya takut sakit, tetapi dia sedang membawa
pulang tugas gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau sampai basah kan nggak lucu juga.
Soalnya tadi aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan berbagai bentuk
bidang, kayak arsitektur amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya basah.
"Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si
Boim hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja
takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh kharisma kayak saya ini, hal-hal
sepele begini tak akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau kehujanan nanti
rambut kamu jadi basah? Nggak bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah,
kalau ketampanan yang kauperoleh bukan ketampanan alami kayak saya. Biar
kebasahan, rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak? Lihat, saya berani
menentang badai sekalipun!" sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke
arah hujan.
".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim
lagi, "Boim sebagai playboy paling top sejagat tau betul bagaimana cara
menarik perhatian cewek. kamu lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di sana itu? Nah, ini saat
yang tepat untuk mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab sebenarnya di
dalam tasku ada payung. Nah, kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya tidak pakai payung
itu. Saya akan khusus membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu sekali melihat
pengorbanan saya. Basah-basahan demi membela dia supaya enggak kehujanan.
"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya
jadi mendadak pelan, Sambil mendekatkan moncongnya ke telinga Lupus. Buset
baunya!
Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang
cewek biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan cowok yang mencintainya,
walau ia sendiri sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan cowok, lebih baik
mencintai cewek yang ia cintai, kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah,
prinsip itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep ke-playboy-an saya.
That's true. That's love! Kamu setuju pada pendapat itu?"
"Setuju," sahut Lupus mantap.
"Saya juga lebih baik pacaran dengan cewek yang saya cintai, walau cewek
itu mencintai saya mati-matian!"
Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah bak
panglima perang, dia berjalan menerjang hujan, menuju sang ratu Svida berteduh.
Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian lagi. Dan dia sempat menangkap
bayangan yang menatapnya lewat balik kaca Corona
biru tua yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus segera tersenyum lucu.
Tapi eks ceweknya itu segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun langsung
membuang pandangan pada anak-anak kecil yang asyik bermain bola di lapangan
becek di luar pekarangan sekolah.
Sementara hujan kian deras.
"Hai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu
untuk meninggalkan tempat yang menjemukan ini?" tiba-tiba terdengar suara
cempreng dari sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi tanpa menoleh pun,
dia tau siapa kali ini yang datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman
kesasar anak bahasa itu ? Yang kalo ngomong selalu sok nyastra. Biar dikata
kayak Rendra. Ya, dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana selalu bawa tas
koper yang isinya penuh puisi-puisi ciptaannya yang katanya akan laku
dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya puisi-puisi saya adalah
puisi yang jauh melangkah ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-orang
masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap membawa koper.
Teman-temannya banyak yang bilang dia itu seniman
gagal. Tapi nggak juga tuh. Dia ternyata cukup sukses juga. Buktinya setiap ada
perayaan hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan untuk membacakan
puisi karyanya. Kalau sudah begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan pembungkus
makanan pada berseliweran di udara. Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya
yang sibuk tunggang-langgang ke balik panggung. Berlagak mau ke wc.
Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab.
Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk), dia
dengan sok akrabnya menyapa setiap orang yang dia jumpai. Menurutnya, setiap
orang yang dijumpai adalah para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut
(katanya biar lebih mirip Rendra), kadang menyebabkan ritsluiting celananya
sulit tertutup rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke mana-mana.
Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering
ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya? Dan kini, makhluk ajaib ini sudah
berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai
prahara ini kan
lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan
Gusur makin gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana,"
katanya lagi dengan gaya
bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia akan datang lagi dengan selaksa
ancamannya!"
Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka.
Berlagak asyik memandangi anak-anak yang bermain bola. Tapi matanya tetap
mengerling. Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra. "Wahai, Lupus,
ketahuilah, jarum-jarum hujan yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia
mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini, si Gusur turun berputar-putar
seperti orang balet. Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang bulat
begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati menahan senyum. "Maka, mari kita
berlalu. Basah tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa berjuta derita.
Dingin, resah, dan di dalam perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya
(lapar, maksudnya!)."
Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa?
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk
yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski hujan, nampak begitu aneh.
Pakaiannya itu lho, lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan payung kecil
yang sekaligus topi. Itu lho, yang biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi kepanasan. Yang ada
head-bandnya ala Bjorn Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan? Kalau nggak tau berarti kamu lebih
norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi.
Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang menyolok.
Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok
sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar top kali! Tapi barangkali aja
sebagai seniman, dia punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha buktinya, kok
tau-taunya sih bakal turun hujan. Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.
Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus
nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel sendiri. Dengan judes, dia
membuang muka, menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu akhirnya pulang
sendirian. Wah, lagaknya. Pake ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah
mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum makhluk itu berlalu, sempet juga ia
berkicau. Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang membuatmu terpaku
di situ. Atau kau takut? Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang
menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku andai dikau kutinggalkan. Kita
berdiri di dunia kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani. Selamat tinggal,
Lupus, hujan telah memanggilku dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai
hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.
Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan tanpa
kerepotan meski kostum yang dikenakan nampak complicated sekali. Tingkahnya
seperti biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya tetap monyong. Habis
sial-siul terus sih.
Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang walau
hujan mulai sedikit mereda. Perutnya semakin melilit dengan dingin yang
menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang?" Kali ini
ada suara lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini baru teman yang
menyenangkan, batin Lupus ketika melihat Anggi yang datang.
"Belum, Gi. Abis hujan terus. Kamu dari
mana?"
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak betah. Mendingan
pulang aja. Tapi masih hujan, ya? Padahal nanti so're saya mau latihan
gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada
percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti hujan reda. Deket cewek cakep
begini, laparnya jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di
depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul wajah Tejo, anak kelas tiga.
Dia tersenyum manis kepada Anggi.
"Mau pulang? Ayo saya anterin. Daripada kedinginan
di situ."
Anggi kelihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti
minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Mau tunggu hujan
berhenti? Wah, sampe besok subuh juga nggak bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak
kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut.
"Tapi ajak teman saya ini juga, ya?" pinta Anggi. Tejo melirik dikit
pada Lupus. Lirikan tak bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di
mana?"
"Eh...enggak usah. Makasih aja deh. Saya
bisa pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama
Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa. Langsung duduk di charade-nya dan
tancap gas. Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah
nyulik teman dengan paksa, nggak tau diri, lagi!
***
Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang
ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan di situ banjir. Lalu lintas
macet total. Mobil-mobil yang nggak waterproof udah mogok berat. Walhasil para
pengendaranya terpaksa kemping di jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada
bersyukur juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa jalan terus, meski
pelan banget.
Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat
charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak bisa bergerak sedikit pun. Di
dalamnya, Tejo lagi sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena pulangnya malah
jadi terlambat. Anggi dengan kesal turun, dan berlari ke arah bis yang
ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang masih kebingungan dengan mobilnya.
Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu
dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke bis Lupus. Sebab hujan yang tadi
agak reda, kini turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi?
Nanti sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di dekatnya.
"Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.
Sementara di luar hujan masih turun. Dan di
tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si seniman itu, basah kuyup karena
kejebur got. Lha iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak kelihatan. Dan kamu tau,
seniman ini memang paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal tancap gas aja.
Dan akhirnya ia dimakan keyakinannya sendiri.
Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia ngakak
keras sekali. Sampai orang-orang sebis memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak
peduli.
0 komentar:
Posting Komentar