Pasalnya ya karena si Lupus. Makhluk itu selama
ini memang dikenal sebagai 'teman tetap' Poppi. Kadang jajan di kantin
sama-sama, ngerjain temen sekelas sama-sama, bikin pe-er sama-sama atau juga
ngejar layangan putus yang kadang nyasar ke lapangan kalau lagi pelajaran
olahraga.
Pokoknya kompak deh! Apalagi kalau lagi musim
ulangan. Tapi belakangan ini Lupus jarang masuk. Jarang maen ke rumah Poppi.
Meski memang tidak pernah rutin malam Minggu apel, tapi nggak biasanya sampai
tiga kali berturut-turut seperti kali ini. Poppi memang maklum sama sifat Lupus
yang angin-anginan. Yang nggak bisa dipegang buntut-buntutnya. Sebagai cewek,
dia udah begitu cukup pengertian. Tapi Lupusnya ini, kok ya nggak sadar-sadar.
Selalu bikin keki.
Seperti waktu Ruri, cewek yang doyan nggosip itu,
sibuk nggosip tentang dirinya sendiri (Kok ada ya orang yang begitu?). Ke sana ke sini memamerkan
foto close-up yang katanya cowoknya yang baru, "Newcomer. Baru semalem
resmi jadi pacar saya yang ketujuh," katanya bangga.
Dadanya sampai membusung (eh, nggak jorok, lho!).
Lupus yang datang ke kelas belakangan, tak luput kena pameran foto tunggal
tersebut.
"Kece nggak, Pus?" Ruri berkata penuh
semangat.
"Siapa sih? Penyanyi dangdut, ya?"
tanya Lupus serius.
Ruri jelas keki berat.
SUATU kali dalam hidupmu, pernahkah kamu merasa
begitu sepi? Membuka jendela kamar kala semuanya terlelap dalam mimpi, dan
merasa sendirian di tengah alam semesta yang begitu luas?
Pernahkah?
Pernahkah kamu merasa begitu benci kepada tawa
anak-anak kecil yang bermain di halaman sebelah rumahmu? Sehingga lagu terindah
bagimu hanyalah gesekan angin pada pucuk-pucuk cemara dan rontoknya daun-daun
kering di musim kemarau?
Nah, ketauan. Kalau begitu kamu pasti lagi
frustasi. Ngaku aja. Samaan kok sama Poppi. Poppi ini belakangan memang sering
uring-uringan kayak gitu. Kerjanya seharian, kalo enggak dengerin kaset-kaset
model Patah Hatinya Rachmat Kartolo (enggak usah berlagak mikir, kamu pasti
apal lagunya. Eh, kita nggak nuduh lho, cuma nebak aja!), ya nyoret-nyoretin
buku harian. Atau bengong berat kayak seniman keabisan inspirasi. Nggak napsu
makan, nggak napsu bobok, dan yang paling gawat, jadi segen mandi.
Tapi sebetulnya nggak bakalan segawat ini kalo
nggak ada gosip yang mengatakan bahwa Lupus punya cewek lagi. Nggak jelas
pacaran sama siapa, tapi desas-desus itu memang lagi ngetop. Ada yang bilang sama artis penyanyi kondang
Evita Fanny, ada yang bilang sama anak kelas satu yang baru.
Poppi tadinya nggak begitu mudah percaya, tapi
bukti-bukti memang ada. Dua hari yang lalu, anak itu memang masuk. Dengan
santainya menaruh tas di bangku, lalu kelayapan keluar kelas lagi. Sama sekali
tak menyapa Poppi yang duduk dengan manis di bangkunya. Sibuk ngeceng ke
kelas-kelas baru.
Poppi jelas panas. Buntut-buntutnya ya seperti
tadi itu. Samaan sama kamu. Suka ngelamun sendirian. Kenapa ya, cowok itu
cenderung nggak setia? Apa karena di dunia ini memang lebih banyak cewek,
sehingga cowok leluasa pacaran dengan lebih dari satu cewek? Biar adil, kebagian
semua, begitu? Ih, amit-amit. Itu pendapat gila. Nggak berperikewanitaan. Lebih
baik cewek-cewek nggak usah pacaran sama sekali. Lagi pula, apa sih hebatnya
Lupus itu? Kalau mau saya bisa aja mendapat sejuta 'lupus' lain yang lebih dan
dirinya, batin Poppi.
Memang benar. Poppi toh cantik. Dengan rambutnya
yang lebat itu, banyak cowok yang enggak tahan untuk tidak melirik beberapa
detik kepadanya. Terus kenapa Poppi jadi begitu frustasi hanya karena Lupus?
Itulah cinta.
-Poppi sudah terlanjur menyukai semua yang ada
pada diri Lupus. Orang yang lebih baik atau lebih cakep dari Lupus itu banyak.
Jalan-jalan di pasar swalayan, kamu bisa menemukan makhluk kayak begitu sepuluh
biji. Tapi ibarat barang tiruan, yang sama ya luarnya aja. Isinya tetap nggak ada
yang se-qualified Lupus (taela!). Maksudnya sifatnya, tingkah lakunya, lengkap
sama gaya-gayanya yang rada norak. Juga sikapnya yang penuh perhatian, walau
kadang bikin keki. Gimana nggak penuh perhatian? Dia bisa begitu sopan di depan
orang tua Poppi. Bukan sopan yang dibuat-buat, tapi nampak wajar. Di samping
juga sering membawakan mereka oleh-oleh. Jarang-jarang lho, ada cowok yang
begitu memperhatikan calon mertuanya kayak gitu. Pun ketika lebaran kemarin,
dia dengan serius ngomong sama Poppi, "Pop, sayang sekali untuk lebaran
kali ini, rejeki saya nggak begitu banyak. Tapi biar deh, demi kamu saya ngalah
aja. Saya rela, lebaran kali ini biar calon mertua kamu aja yang saya kasih
hadiah...."
Poppi yang tadinya udah siap-siap untuk terharu,
jadi keki banget.
Di samping itu, Lupus juga ngetop sekali.
Fans-nya bukan hanya di lingkungan sekolah dia aja, tapi juga melimpah ke luar
sekolah. Buktinya kalau dia turun dari bis sepulang sekolah, histeria massa selalu terjadi.
Puluhan abang-abang becak dengan semangat '45 menarik-narik bajunya. Bukan
minta tanda tangan, cuma mau menawari (dengan sedikit paksa) Lupus untuk naik
becaknya.
Lupus juga termasuk anak yang susah dikerjain.
Padahal dia hobi banget ngerjain orang. Sampai pernah suatu ketika anak-anak
cowok di kelasnya kompakan untuk sekali-sekali ngerjain Lupus. Mereka semua
ngumpul di toilet. Mengatur strategi penjebakan.
"Kita kunci aja di WC. Dia kan hobi banget ke belakang. Beberapa dari
kita memantau ke mana dia pergi. Begitu masuk wc, kita kunci dari luar. Biarkan
beberapa saat sampai dia mabok dulu. Setuju?"
Agak sadis memang, tapi toh pada setuju. wc di
sekolah Lupus memang rada sulit dibuka dari dalam, tapi dengan mudah dikunci
dari luar. Tinggal mengaitkan engsel kuncinya, beres!
Namun ketika mereka baru selesai berembuk, sampai
bela-belain menahan bau yang ngujubileh itu biar nggak ketauan, tiba-tiba Lupus
keluar dari wc sambil cengengesan. "Hayo, mau merencana kan usaha pembunuhan ya?"
Teman-temannya yang mengira aman berembuk di
toilet itu, jelas pada keki berat. Usaha mereka jadi gatot. Gagal total.
Itu hanya sebagian keunikan Lupus. Belum lagi
kisah gombal Lupus waktu nonton film sama Poppi. Dia kelupaan ninggalin Poppi
di bioskop sendirian. Langsung pulang aja. Soalnya nggak biasa nonton bareng
cewek sih. Di tengah jalan dia baru sadar, ketika merasa ada yang kurang beres.
Tapi sabar itu memang ada batasnya. Saling
pengertian itu bisa jalan kalau ada kesadaran dari dua belah pihak. Poppi sudah
menjalankan semua itu dengan baik. Tinggal Lupus yang belum. Jadi kenapa harus
menyesal putus dengan dia? Poppi malah harus bersyukur, karena dia tau
kejelekan-kejelekan Lupus lebih awal. Sebelum segalanya terlambat. Dan cinta
itu tidak buta. Justru sebaliknya, kita harus melihat kepribadian pacar kita sampai
yang terkecil.
Saya bisa berbuat seperti Lupus! tekad Poppi.
Maka, Poppi pun mencampakkan foto Lupus yang lagi nyengir di atas meja
belajarnya. Lalu duduk di depan kaca, dan mencoba menyisir rambutnya yang
kusut. Di sana,
dia seakan menemukan dirinya sendiri. Dirinya yang baru. Dengan semangat baru.
Dan besoknya, dia langsung menolak ketika mau
diantar ke sekolah, "Enggak, Pa. Saya mau naik bis aja. Sekali-sekali kan boleh. Pingin
seperti teman-teman. "
Bapaknya jelas heran. Soalnya baru sekali ini
Poppi nggak mau diantar ke sekolah. Tapi Poppi memang punya alasan yang nggak
boleh diketahui orang tuanya. Dia sering denger cerita, orang yang naik
kendaraan umum itu lebih enteng jodoh ketimbang yang diantar jemput. Soalnya,
kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal lebih besar daripada diantar supir
sendiri. Apalagi pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis sekolah saja. Berisi
anak-anak sekolah dari segala jenis.
Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia
begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering kenalan dengan cewek-cewek
lain di bis. Seperti gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa Lupus kenal
sama cewek baru kelas satu itu di bis. Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan
rumah Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.
Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu?
"Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop? Harus dua kali naik
bis?" bapaknya mencoba membujuk.
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada tukang copet atau apa
begitu?"
"Nggak takut."
Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat
pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan Blok M. Tapi Poppi bener-bener
nggak nyangka kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada penuh semua. Sarat
dengan penumpang, yang bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan, orang
kantoran atau juga inem-inem yang mau ke pasar. Poppi yang tak mau menanggung
rekiso eh, risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-mini walau sarat
dengan penumpang. Metro itu langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di tempat.
Gimana cara masuknya? Kok penuh banget?
"Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di
dalam," rayu kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi. Sementara di
bangku belakang, sederetan anak muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil
cuwek.
Poppi naik ke tangga. Dari belakang, kondektur
yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia. Memaksanya untuk masuk lebih ke
dalam lagi. Aduuuh . orang kok udah kayak sarden aja? Dijejel-jejelin. Mana
atap metro itu rendah sekali. Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk. Berbaur
dengan keringat-keringat orang lainnya. Dan dia keki banget, karena cowok-cowok
yang kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk memberikan kursinya kepada Poppi.
Malah asyik baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang namanya emansipasi?
Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia toh
nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat Poppi, untuk kemudian ikutan
berbungkuk-ria bersama para penumpang lainnya. Kan pegel sekali tuh. Mana biasanya metro
itu jalannya kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya cari penumpang lain.
Poppi jadi nyesel. Ternyata naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.
Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan
kelipet-lipet begini? Apa karena belum biasa aja? Untung hari masih pagi. Saat
orang baru pada mandi, dan belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih!
POPPI jadi nyesel tadi pesan kalo siang nanti nggak usah dijemput.
***
Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak
kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi menerima ajakan Fadly yang
memang sering menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik bersama, ke restoran
mewah bersama. Kencan dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih banyak tau
tentang tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak
pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi merasa ada yang kurang. Saban
malam, dia masih sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu memang hadir saat
dia berjalan-jalan dengan Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan
kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di waktu malam. Aneh, biasanya
nggak begini kok.
Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya
sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah larut dia rindu pingin ketemu
Lupus. Pingin ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan lagi menelusuri
pusat pertokoan. Jalan sama Lupus banyak seninya.
Maka malam itu Poppi sudah nggak tahan lagi. Dia
buat surat yang
panjang sekali buat Lupus. Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-anak baru
di kelas satu. O ya, Lupus sekarang sudah naik ke kelas dua.
***
Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat
menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi. Anak-anak banyak yang belum
datang. Memang sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih mesra.
"Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat. Ternyata kamu berbakat
jadi pengarang novelet," sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.
Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.
"Dan sekarang terbongkar bukan
skandal-skandal mu dengan para bintang-bintang baru itu? Iya?" sahut Poppi
ketus.
"Hei, you have no right to say like that to
me!" Lupus jadi serius.
"0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah,
"Ngaku aja. Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran sama artis Evita
itu, sama anak kelas satu atau sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya, kan? Apa sih yang kurang dari saya selama
ini? Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar, cukup... apa lagi ya?"
"Cukup kasih sayang...."
"Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa
lagi yang kamu tuntut, he?"
"Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok.
Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake rasio dong. Pake pikiran yang
matang. Kedewasaan."
"Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya
rasio?"
"Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja
kamu pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis sebanyak itu. Sama kamu aja,
saya udah sering kerepotan. Saya kan
meski masih sampingan, udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit. Hampir
seluruh waktu luang saya tersita untuk kerjaan saya di majalah. Wawancara,
nulis berita, les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung ada kondangan. Kan rugi sekali kalau
enggak datang.
"Jadi mana sempat? Dan semua itu saya
lakukan demi kamu., Demi masa depan saya...."
Poppi jadi diam. Tapi toh belum puas, "Lalu,
ngapain kamu setiap masuk sekolah sering ngeceng ke kelas-kelas satu heh?
Pokoknya saya minta PHK!"
"Apa itu PHK?"
"Putus Hubungan Kekasih."
"Aduh, Poppi, kamu kok sempit amat
pikirannya? Saya ke kelas satu itu juga dalam rangka tugas. Kali ini saya mau
nulis abis-abisan tentang posma sekolah. Yang meski dilarang, tapi masih juga
ada. Dan sebetulnya tujuannya kan
baik. Buat menjalin keakraban, asal tidak disalahgunakan. Itulah, makanya saya
bolak-balik ke kelas satu. Minta pendapat dari masing-masing mereka. Kamu
ngerti kan
sekarang?"
Poppi diam.
"Sebetulnya saya sedih banget nggak
ketemu-ketemu kamu. Apalagi saya tau kamu belakangan ini sering pergi sama
Fadly. Iya, kan?"
Lupus berkata sedih.
Kali ini Poppi benar-benar terharu. "Kamu
cemburu ya, Pus?"
"Iya. "
-"Lupus..., sebetulnya saya nggak mau
begitu. Saya cuma cari kompensasi aja. Abis kamu juga sih gara-garanya. Tapi
sekarang saya percaya kok sama kamu...," suara Poppi makin pelan. Dan
mereka saling membisu.
Suasana haru itu terganggu ketika seorang gadis
masuk ke kantin. Celingak-celinguk ke dalam. Dan matanya bersinar ketika
melihat Lupus.
"Eh, Kakak namanya Lupus ya?" sahut
gadis itu kemudian.
Lupus mengangguk heran.
"Aduh, dari tadi dicariin. Ini lho, ada
titipan surat dari
Wida. Tau, kan?
Yang anak kelas satu itu. Katanya balesan surat
Kakak yang kemarin...."
Poppi langsung melotot ke arah Lupus.
"Eh, sabar, Pop. Sabar. Namanya juga orang
usaha. .. kan
boleh. Sabar dong kamunya. Siapa tau isinya ditolak...."
Tapi Poppi langsung pergi meninggalkan Lupus.
Tinggal Lupus yang kerepotan seharian merayu Poppi.. ..
0 komentar:
Posting Komentar