Home » » LUPUS KECIL "01. Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!"

LUPUS KECIL "01. Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!"

Ditulis Oleh Unknown on Senin, 08 April 2013 | 00.04

KENAL Lupus? Anak kelas satu SMA Merah Putih yang doyan mengenakan baiu lengan paniang itu?  Dia Iumayan ngetop, Iho! Serius. Kalau kebetulan kamu mampir ke rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang seisi rumah pada tau semua.Itu kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya... di antara orang seisi rumahnya.  Model anaknya seperti kebanyakan remaja sekarang, kurus dan rada tinggi. Tampangnya lumayanlah, daripada kejepit pintu. Yang menarik  sih model rambur dengan rambut depan yang  panjang hampir menunutupi matanya. Sementara  bagian samping dipotong rapi ke arah belakang.   Sedang bagian belakang, panjang hampir menutupi  kerah. “Biar kayak john Taylor,” sahutnya ge-er.

“Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick  jagger deh,” begitu teman-temannya sering  memujinya, “tapi kalo dari samping, kok kayak  mikrolet... ?”

Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung  diledek begitu.

Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan  dengan lebih saksama lagi, kamu akan melihat dia  selalu membawa permen karet ke mana dia pergi.   jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit  untuk memberikan makanan-makanan yang sangat dia sukai. Kecuali kalau kamu tukar dengan  coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan  Lupus hanya akan memakan permen karetya saat  dia merasa grogi, bingung, atau tidak mempunyai  makanan lain yang bisa dia minta dari temannya  secara gratis. Curang, ya? Dia memang begitu.   Dan satu hal yang jelek, dia tak pernah bisa  menghilangkan kebiasaan buruknya untuk me- nempelkan bekas permen karet pada bangku  sebelahnya yang kosong di bis kota. Entah berapa  korban yang telah dirugikannya. Satu hal lagi yang  perlu kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang  sangat pendiam. Terutama kalau lagi tidur. Tapi  nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang yang  begitu cerewet jika berkumpul dengan orang- orang yang disukainya.

Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun  amat menyukai musik. Semua musik, kecuali  musik ilustrasi film horor. Dia tak bisa melepas  kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan- jalan. Kalau sudah begitu, teman sebelahnya akan  terkejut dan menatap cemas padanva, “Kamu lagi  batuk, ya?”

Dia juga suka menulis artikel dan kadang iuga  cerpen di maialah remaja. Keahlian ini mungkin  satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari  dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah  minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa  (malangnya, dia justru sering berada dalam  keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya).   Tapi ibunva yang baik hati itu tak pernah kesal.   Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering  memberikan sebagian kepada ibunya.

•••

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus  bengong nungguin bis di terminal Grogol. Sejak  terminal bis Grogol dipindahkan ke Kalideres (eh,  tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...),  Lupus memang merasa dirugikan. Bis-bis yang  lewat situ sudah sarat dengan penumpang. Dan  kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua.   Mereka terlalu gengsi untuk sekadar mampir di  Terminal Grogol guna menjemput Lupus. Walha- sil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang  mengejar-ngejar bis yang berhenti agak jauh di  depen. Ditambah lagi bis yang jurusannya lewat  sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan  sekali baru lewat. Itu juga kalau sopirnya merasa  iseng karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan  (hehehe...)

Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking lamanya, muka udah kaya terminal face.   Mana bawaannya lumayan banyak seperti orang  yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru  biologi yang menyuruh bawa contoh—contoh  tanaman, baju praktek, dan barang-barang Iain  umuk praktekum biologi siang nanti. 

Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para  transmigran Iain, Lupus dengan semangat ’45 turut  berpartisipasi membudayakan Iari pagi dalam  rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa  menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang  gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang  merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan  Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya  pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek,  mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajak- nya ngobrol. Siapa tau jodoh ....

Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun  mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak  tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus  dengan wajah memelas mencoba memulai komu- nikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin  komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi  rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus. 

“Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong- dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar- benar sempurna menunjukkan rasa penyesalan- nya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia. 

“Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus!” sahut  cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwara- nya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa  mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek  itu.

“Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh  penyesalan. Kali ini serius.

Gadis itu tersenyum.

Oh. God, ini kesempatan  baik.

“Nama kamu siapa?” tanya Lupus Iagi setelah  beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit  heran mendengar pertanyaan yang rada ‘Iain’ itu.   Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan.   Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus  jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya  begitu?

“Saya Yanti. Kamu siapa?” sahutya balik  bertanva.

“Saya Lupus,” jawabnya sambil mengulurkan  tangan. Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka  ngomong soal sekolah, cuaca, film, musik, dan  makanan favorit.

Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang  banyak orang yang bertugas. Tapi Lupus sama  sekali tidak mengutuki keadaan itu. MaIah  bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun.   Meninggalkan bangku kosong yang Iangsung  diduduki Yanti. Lupus pun segera menitipkan  bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh- contoh tanaman serta diktat yang besar-besar. 

Tapi sial! Di sebelah Yanti ternyata duduk  seorang cowok yang langsung mengaiak ngomong  Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus. Ngomongnya  disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu  menurut Lupus, tapi bisa membuat Yanti  tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki Yanti yang  begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai  menelantarkan dirinya. Dasar cewek! Makinya  dalam hati.

Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan  turun. Akhirnya dcngan tergesa-gesa. Lupus pun  menerobos desakan penumpang untuk segera  melompat ke pintu bis. “Kiri! Kiri, Bang!”  teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang  kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sial,  lu! Bukan dari tadi bilangnya!”

Lupus melompat turun sambil meledek kondek•  tur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri  trotoar. Tapi, astaga! Barang-barang bawaan serta  diktatnya ketinggalan di bis! Lupus Iangsung balik  hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal cuma  kepulan debu dan derunya. Lupus habis memaki- maki. Dasar cewek pembawa petaka! Percuma tadi  bagun pagi-pagi nyari contoh tanaman buat  praktek kaIo akhirnya begini! Mau pulang Iagi,  jelas nggak keburu.

Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menum- pahkan kekesalan yang mbludag di hatinya. Tapi  situasi tak mengizinkan. Banyak anak-anak  sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira  gila. JaIan paling aman iaIah memakan permen  karet dan menggigitnya keras-keras. Dia nyesel,  kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin  permen karet saja, biar tahu rasa! 

“Hei... Lupus!!!!” dari kejauhan terdengar  suara cewek memanggil. Lupus segera menoleh.   Eh, itu Yami sambil mengacung-acungkan tanam- an serta diktatnya.

“Kamu Iupa bawa ini, ya?” teriaknya Iagi.   Wajah Lupus berubah cerah. Lho. Yanti kan  harusnya turun di Mayestik, kok dia bela-belain  ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.

“Wah, makasih banget, Yan! Bawa sini dong!”  sahut Lupus girang sambii menghampiri Yanti,  tetapi Yanti malah menjauh sambil tertawa-tawa.   ”Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... “

Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah.   Hm, romantisme ndeso! Mereka pun tertawa- tawa.

“Kamu sombong ya, turun nggak bilang- bilang!” sahut Yami terengah-engah. Lupus cuma  mencibir. “Kamu sih keasyikan ngobrol sama  cowok itu. Jadi ngelupain saya!” balas Lupus. 

“ldih, cemburu, ya?”

“Nggak!!” jawab Lupus dengan wajah memerah. Tapi akhirnya Lupus pun dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat  berikutnya. Nggak peduli bel sekolah yang  berdentang di kejauhan. Dan dia malah bersyukur  ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Kampoeng JAVA
Copyright © 2013. Kampoeng JAVA - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template Edit by Kampoeng JAVA
Proudly powered by Blogger