KENAL Lupus? Anak
kelas satu SMA Merah Putih yang doyan mengenakan baiu lengan paniang
itu? Dia Iumayan ngetop, Iho! Serius. Kalau kebetulan kamu mampir ke
rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang seisi rumah pada tau
semua.Itu kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya... di
antara orang seisi rumahnya. Model anaknya seperti kebanyakan remaja
sekarang, kurus dan rada tinggi. Tampangnya lumayanlah, daripada
kejepit pintu. Yang menarik sih model rambur dengan rambut depan yang
panjang hampir menunutupi matanya. Sementara bagian samping dipotong
rapi ke arah belakang. Sedang bagian belakang, panjang hampir
menutupi kerah. “Biar kayak john Taylor,” sahutnya ge-er.
“Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick jagger deh,” begitu teman-temannya sering memujinya, “tapi kalo dari samping, kok kayak mikrolet... ?”
Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung diledek begitu.
Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan dengan lebih saksama lagi, kamu akan melihat dia selalu membawa permen karet ke mana dia pergi. jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit untuk memberikan makanan-makanan yang sangat dia sukai. Kecuali kalau kamu tukar dengan coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan Lupus hanya akan memakan permen karetya saat dia merasa grogi, bingung, atau tidak mempunyai makanan lain yang bisa dia minta dari temannya secara gratis. Curang, ya? Dia memang begitu. Dan satu hal yang jelek, dia tak pernah bisa menghilangkan kebiasaan buruknya untuk me- nempelkan bekas permen karet pada bangku sebelahnya yang kosong di bis kota. Entah berapa korban yang telah dirugikannya. Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang sangat pendiam. Terutama kalau lagi tidur. Tapi nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang yang begitu cerewet jika berkumpul dengan orang- orang yang disukainya.
Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun amat menyukai musik. Semua musik, kecuali musik ilustrasi film horor. Dia tak bisa melepas kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan- jalan. Kalau sudah begitu, teman sebelahnya akan terkejut dan menatap cemas padanva, “Kamu lagi batuk, ya?”
Dia juga suka menulis artikel dan kadang iuga cerpen di maialah remaja. Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering berada dalam keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi ibunva yang baik hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering memberikan sebagian kepada ibunya.
•••
Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus bengong nungguin bis di terminal Grogol. Sejak terminal bis Grogol dipindahkan ke Kalideres (eh, tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...), Lupus memang merasa dirugikan. Bis-bis yang lewat situ sudah sarat dengan penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekadar mampir di Terminal Grogol guna menjemput Lupus. Walha- sil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang mengejar-ngejar bis yang berhenti agak jauh di depen. Ditambah lagi bis yang jurusannya lewat sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan sekali baru lewat. Itu juga kalau sopirnya merasa iseng karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan (hehehe...)
Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking lamanya, muka udah kaya terminal face. Mana bawaannya lumayan banyak seperti orang yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru biologi yang menyuruh bawa contoh—contoh tanaman, baju praktek, dan barang-barang Iain umuk praktekum biologi siang nanti.
Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran Iain, Lupus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan Iari pagi dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajak- nya ngobrol. Siapa tau jodoh ....
Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komu- nikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus.
“Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong- dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar- benar sempurna menunjukkan rasa penyesalan- nya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.
“Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus!” sahut cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwara- nya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.
“Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh penyesalan. Kali ini serius.
Gadis itu tersenyum.
Oh. God, ini kesempatan baik.
“Nama kamu siapa?” tanya Lupus Iagi setelah beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada ‘Iain’ itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya begitu?
“Saya Yanti. Kamu siapa?” sahutya balik bertanva.
“Saya Lupus,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal sekolah, cuaca, film, musik, dan makanan favorit.
Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang banyak orang yang bertugas. Tapi Lupus sama sekali tidak mengutuki keadaan itu. MaIah bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang Iangsung diduduki Yanti. Lupus pun segera menitipkan bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh- contoh tanaman serta diktat yang besar-besar.
Tapi sial! Di sebelah Yanti ternyata duduk seorang cowok yang langsung mengaiak ngomong Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus. Ngomongnya disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu menurut Lupus, tapi bisa membuat Yanti tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki Yanti yang begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai menelantarkan dirinya. Dasar cewek! Makinya dalam hati.
Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan turun. Akhirnya dcngan tergesa-gesa. Lupus pun menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri! Kiri, Bang!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sial, lu! Bukan dari tadi bilangnya!”
Lupus melompat turun sambil meledek kondek• tur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Tapi, astaga! Barang-barang bawaan serta diktatnya ketinggalan di bis! Lupus Iangsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal cuma kepulan debu dan derunya. Lupus habis memaki- maki. Dasar cewek pembawa petaka! Percuma tadi bagun pagi-pagi nyari contoh tanaman buat praktek kaIo akhirnya begini! Mau pulang Iagi, jelas nggak keburu.
Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menum- pahkan kekesalan yang mbludag di hatinya. Tapi situasi tak mengizinkan. Banyak anak-anak sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira gila. JaIan paling aman iaIah memakan permen karet dan menggigitnya keras-keras. Dia nyesel, kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin permen karet saja, biar tahu rasa!
“Hei... Lupus!!!!” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil. Lupus segera menoleh. Eh, itu Yami sambil mengacung-acungkan tanam- an serta diktatnya.
“Kamu Iupa bawa ini, ya?” teriaknya Iagi. Wajah Lupus berubah cerah. Lho. Yanti kan harusnya turun di Mayestik, kok dia bela-belain ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.
“Wah, makasih banget, Yan! Bawa sini dong!” sahut Lupus girang sambii menghampiri Yanti, tetapi Yanti malah menjauh sambil tertawa-tawa. ”Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... “
Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah. Hm, romantisme ndeso! Mereka pun tertawa- tawa.
“Kamu sombong ya, turun nggak bilang- bilang!” sahut Yami terengah-engah. Lupus cuma mencibir. “Kamu sih keasyikan ngobrol sama cowok itu. Jadi ngelupain saya!” balas Lupus.
“ldih, cemburu, ya?”
“Nggak!!” jawab Lupus dengan wajah memerah. Tapi akhirnya Lupus pun dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat berikutnya. Nggak peduli bel sekolah yang berdentang di kejauhan. Dan dia malah bersyukur ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.
“Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick jagger deh,” begitu teman-temannya sering memujinya, “tapi kalo dari samping, kok kayak mikrolet... ?”
Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung diledek begitu.
Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan dengan lebih saksama lagi, kamu akan melihat dia selalu membawa permen karet ke mana dia pergi. jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit untuk memberikan makanan-makanan yang sangat dia sukai. Kecuali kalau kamu tukar dengan coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan Lupus hanya akan memakan permen karetya saat dia merasa grogi, bingung, atau tidak mempunyai makanan lain yang bisa dia minta dari temannya secara gratis. Curang, ya? Dia memang begitu. Dan satu hal yang jelek, dia tak pernah bisa menghilangkan kebiasaan buruknya untuk me- nempelkan bekas permen karet pada bangku sebelahnya yang kosong di bis kota. Entah berapa korban yang telah dirugikannya. Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang sangat pendiam. Terutama kalau lagi tidur. Tapi nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang yang begitu cerewet jika berkumpul dengan orang- orang yang disukainya.
Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun amat menyukai musik. Semua musik, kecuali musik ilustrasi film horor. Dia tak bisa melepas kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan- jalan. Kalau sudah begitu, teman sebelahnya akan terkejut dan menatap cemas padanva, “Kamu lagi batuk, ya?”
Dia juga suka menulis artikel dan kadang iuga cerpen di maialah remaja. Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering berada dalam keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi ibunva yang baik hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering memberikan sebagian kepada ibunya.
•••
Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus bengong nungguin bis di terminal Grogol. Sejak terminal bis Grogol dipindahkan ke Kalideres (eh, tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...), Lupus memang merasa dirugikan. Bis-bis yang lewat situ sudah sarat dengan penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekadar mampir di Terminal Grogol guna menjemput Lupus. Walha- sil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang mengejar-ngejar bis yang berhenti agak jauh di depen. Ditambah lagi bis yang jurusannya lewat sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan sekali baru lewat. Itu juga kalau sopirnya merasa iseng karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan (hehehe...)
Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking lamanya, muka udah kaya terminal face. Mana bawaannya lumayan banyak seperti orang yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru biologi yang menyuruh bawa contoh—contoh tanaman, baju praktek, dan barang-barang Iain umuk praktekum biologi siang nanti.
Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran Iain, Lupus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan Iari pagi dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajak- nya ngobrol. Siapa tau jodoh ....
Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komu- nikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus.
“Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong- dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar- benar sempurna menunjukkan rasa penyesalan- nya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.
“Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus!” sahut cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwara- nya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.
“Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh penyesalan. Kali ini serius.
Gadis itu tersenyum.
Oh. God, ini kesempatan baik.
“Nama kamu siapa?” tanya Lupus Iagi setelah beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada ‘Iain’ itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya begitu?
“Saya Yanti. Kamu siapa?” sahutya balik bertanva.
“Saya Lupus,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal sekolah, cuaca, film, musik, dan makanan favorit.
Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang banyak orang yang bertugas. Tapi Lupus sama sekali tidak mengutuki keadaan itu. MaIah bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang Iangsung diduduki Yanti. Lupus pun segera menitipkan bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh- contoh tanaman serta diktat yang besar-besar.
Tapi sial! Di sebelah Yanti ternyata duduk seorang cowok yang langsung mengaiak ngomong Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus. Ngomongnya disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu menurut Lupus, tapi bisa membuat Yanti tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki Yanti yang begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai menelantarkan dirinya. Dasar cewek! Makinya dalam hati.
Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan turun. Akhirnya dcngan tergesa-gesa. Lupus pun menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri! Kiri, Bang!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sial, lu! Bukan dari tadi bilangnya!”
Lupus melompat turun sambil meledek kondek• tur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Tapi, astaga! Barang-barang bawaan serta diktatnya ketinggalan di bis! Lupus Iangsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal cuma kepulan debu dan derunya. Lupus habis memaki- maki. Dasar cewek pembawa petaka! Percuma tadi bagun pagi-pagi nyari contoh tanaman buat praktek kaIo akhirnya begini! Mau pulang Iagi, jelas nggak keburu.
Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menum- pahkan kekesalan yang mbludag di hatinya. Tapi situasi tak mengizinkan. Banyak anak-anak sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira gila. JaIan paling aman iaIah memakan permen karet dan menggigitnya keras-keras. Dia nyesel, kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin permen karet saja, biar tahu rasa!
“Hei... Lupus!!!!” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil. Lupus segera menoleh. Eh, itu Yami sambil mengacung-acungkan tanam- an serta diktatnya.
“Kamu Iupa bawa ini, ya?” teriaknya Iagi. Wajah Lupus berubah cerah. Lho. Yanti kan harusnya turun di Mayestik, kok dia bela-belain ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.
“Wah, makasih banget, Yan! Bawa sini dong!” sahut Lupus girang sambii menghampiri Yanti, tetapi Yanti malah menjauh sambil tertawa-tawa. ”Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... “
Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah. Hm, romantisme ndeso! Mereka pun tertawa- tawa.
“Kamu sombong ya, turun nggak bilang- bilang!” sahut Yami terengah-engah. Lupus cuma mencibir. “Kamu sih keasyikan ngobrol sama cowok itu. Jadi ngelupain saya!” balas Lupus.
“ldih, cemburu, ya?”
“Nggak!!” jawab Lupus dengan wajah memerah. Tapi akhirnya Lupus pun dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat berikutnya. Nggak peduli bel sekolah yang berdentang di kejauhan. Dan dia malah bersyukur ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.
0 komentar:
Posting Komentar