“Beli kolor ni yee .... “
Sapaan serempak dari arah belakang mengaget- kan Lupus yang lagi asyik mengaduk-aduk bak obralan di toko pakaian. Dengan spontan dia melepas ’barang antik’ yang tadi dia pegang, lalu membalik ke arah sumber suara tadi. Di situ berdiri Ita, Meta, dan Utari. Dengan senyum yang mengembang. Lupus malu berat. Padahal tadi dia sudah begitu berhati-hati. Lirik kanan-kiri untuk menyakinkan bahwa tak ada orang yang dikenal- nya di sekitar situ. Dia ingin sekali membeli beberapa celana dalam baru untuk mengganti dia punya yang sudah pada melar-melar karetnya. Tapi, kok ya kepergok teman juga. Cewek lagi! Tiga cewek ‘mini’ ini memang ke mana-mana selalu bertiga. Makanya sering dijuluki ‘trio the kids’. meski mereka sama sekali nggak setuju dengan julukan itu. Hobi mereka gila-gilaan: keliling- keliling pasaraya cuma untuk mergokin orang- orang yang belanja. Syukur-syukur bisa minta traktir. Lupus suka heran, apa mereka nggak takut dikira anak hilang nantinya?
“Apa khabar, Pus? Abis lebaran kemaren kok nggak nongol-nongol lagi? Makin langsing aja. Oya, poni kamu juga masih tetap gondrong tuh. Ceritanya mau nyaingin john Taylor, ya? Moga-moga aja mata kamu nggak kelilipan tiap menit. Moga-moga cuma sedikit juling. hehehe... nggak apa-apa kok juling dikit. Buktinya si Vina Panduwinata, biar bola matanya suka rada juling, tetap aja kece. Iya, nggak?” cerocos Meta.
Lupus cuma mengangguk. Nurut aja.
“Terusin aja milihnya, kok jadi diem? Buat lebaran, ya?”
“Enak aja! Lebaran kan udah lewat!”
“lya. Lebaran taun depan... hahaha .... “
Dan tiga cewek itu pergi lagi. Cari mangsa baru. Lupus sudah nggak semangat lagi mau milih-milih. Dia langsung ke tempat bakery. Beli beberapa roti pesanan ibunya untuk menyambut tamu agung di rumahnya.
***
Sore hari, tamu agung yang ditunggu-tunggu datang. Ibu Lupus dan Lulu menyambut dengan hangat. Lupus yang baru bangun tidur, ogah- ogahan ikut ke depan.
“Here comes the grump,” komentarnya yang langsung di-‘hush’ oleh ibunya. Dan tamu agung itu tak lain adalah Tante Neli. Kakak tertua ibu Lupus yang luar biasa cerewetnya. Turut serta dalam rombongan, kakak nomor dua ibu Lupus dan Ridwan, anak Tante Neli. Mereka semua datang dalam rangka akan menghadiri upacara pernikahan anaknya Tante Mia.
Lupus sebetulnya kurang suka rame-rame begitu. Apalagi kalau sampai terpaksa tidurnya digusur ke ruang tengah, karena kamarnya dipakai. (Maklumlah, kamar di rumah Lupus tak banyak). Wah, sedih sekali. Nyamuk di situ Iuar biasa ganasnya. Lupus yang memang kurang begitu hobi tidur dikerumuni nyamuk (lagi, apa iya ada yang suka begitu? Kahu dikerumuni cewek sih boleh aja!), jelas jadi merasa tersiksa.
“Lupus, ini lho ada Ridwan!” sahut ibunya ketika Lupus malah buru-buru balik takut kamarnya di-booking. Lupus juga kurang suka pada makhluk kesayangan Tante Neli ini. Si Ridwan. Dia suka cari muka dan meremehkan orang lain. Kalau bukan saudara, pasti sudah diajak musuhan oleh Lupus dari dulu-dulu.
“Hei, apa kabar Lupus!” sapanya dengan gaya yang dibuat-buat.
Lupus cuma nyengir. Lalu membiarkan makh- luk itu bercerita panjang lebar sama Lulu. Biasa, cowok memang begitu. Dan bersikap sok jentel di depan Lulu dan tante-tante yang lain. Bolak-balik membawa keranjang yang berat-berat. Nggak kaya Lupus yang malah sibuk bongkar-bongkar oleh-oleh. Kali-kali aja ada permen karet.
***
Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih, karena sepulang sekolah langsung me- nyelesaikan laporan di kantor majalahnya, dia terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama Ridwan itu sudah pulang sejak pagi tadi. “Belum liburan,” katanya. Syukurlah. Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung melompat ke tempar tidur. Wah, betapa nikmat- nya! Pusing-pusing sedikit yang tadi merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama terbang- nya dia ke alam mimpi.
Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara beduk bertalu-talu. Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah tidak, menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib? Kok cepat sekali? lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu magrib tetap saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji. Tapi, eh, kok beduknya rada lain bunyinya? Dan rasanya terdengar semakin dekat dan dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk. Tapi ada orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa makhluk yang tak berperikemanusiaan itu? Keluh Lupus yang dengan malas langsung membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang terasa berat unruk dibuka.
Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk. “Kamu ini bagaimana sih? Datang- datang langsung tidur. Tak punya kesadaran sama sekali! Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para langganan di dapur. Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa gitu!” semprotnya nggak tanggung-tanggung.
“No way!” sahut Lupus pendek dan langsung mengunci kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup kepalanya erat-erat dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli.
Tante Neli, begitu tepat nama itu untuknya. Dia memang persis nenek-nenek cerewet yang kelin- cahan. Lupus bukannya tak mau bantu ibunya, tapi dia memang benar-benar letih. Ibunya iuga maklum. Dan lagi, bukankah ibunya sudah mempunyai empat orang pembantu yang siap menolong setiap saat? Ditambah Tante Neli dan tante-tante lainnya yang bisa digunakan tenaga- nya, daripada nggosip nggak keruan. jadi, dasar aja Tante Neli yang nggak bisa lihat orang senang! Begitu kesimpulan yang diambil Lupus. Dan dia pun bisa melanjutkan tidumya dengan tenang. Tanpa merasa berdosa.
Tapi kesimpulan itu memang tak terlalu salah. Seperti keesokan sorenya ketika Lupus lagi asyik main ayunan yang diikatkan pada pohon jambu bersama Lulu. Lupus mendorong kuat-kuat, sehingga ayunan itu terayun gila-gilaan, membuat Lulu menjerit ketakutan. Di tengah keasyikan itu, Tante Neli tiba-tiba muncul dengan jeritan histerisnya, “Hei, hentikan! Hentikan! Lihat daun-daun jambunya pada berjatuhan. Ayo, bersihkan! Kalian ini bagaimana, sih? Sudah pada gede-gede juga masih kayak anak kecil tingkahnya. Kalian pikir tidak berbahaya main ayun-ayunan Kencang-kencang begitu? Nggak punya otak! Kamu juga, Lupus, kamu kan anak laki-laki tertua. Satu-satunya lagi. Kamu seharusnya bisa meng- gantikan kedudukan ayahmu almarhum. Bersikap- lah dewasa sedikit, tidak seperti anak kecil begitu. Boro-boro deh mau bantuin ibu kamu kerja .... “
Begitulah usilnya Tante Neli. Bahkan hiburan Satu-satunya yang mereka miliki juga dilarang. Terpaksa sore itu Lupus dan Lulu kena setrap untuk menyapu seluruh halaman belakang rumah yang cukup luas itu. Ayam-ayam yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus dekat Lupus. Seolah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak terganggu ketika lagi asyik-asyik tidur di atas pohon jambu, tiba-tiba pohonnya bergoyang- goyang ikut terayun. Dengan keki, Lupus menyambit ayam-ayam sialan itu dengan sapu lidi.
“Lupus, kalau kerja yang betul. ya!” lagi-lagi terdengar teriakan Tante Neli.
Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah serba nggak bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga suka diatur-atur. Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de el el. lbu Lupus cuma senyum- senyum aja ketika Lulu mengadukan semua kejengkelannya.
“Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang teliti dan sangat disiplin.”
Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka ribut-ribut sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan terengah-engah lari-lari masuk ke rumah. langsung ngoceh, “Gila, Iho, tadi di pasar ada yang dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali. Hampir orang sepasar ikut mengeroyoki!”
Tante Neli langsung berdiri panik. “Siapa?Siapa orangnya? Kasihan betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan orang-orang zaman sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu? Masih hidup? Siapa, Lupus? Pelajar? Atau pencuri?”
“Bukan. Tikus.... “ sahut lupus tenang dan langsung masuk kamar.
***
Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai membicarakan dirinya saat saudara-saudara yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia suka membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.
“Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau Saudara-saudaranya lagi pada kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya men- dekam di kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau perhatian pada kita, para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang nolong. Kalau diajak bicara, suka sembarangan menjawab sampai terus mengunyah permen. Betapa tidak sopannya. Tamu dari jauh seperti saya ini, tidak pernah disambutnya dengan hangat. Atau ketika Tante Mia diopname, dia sama sekali tak menjenguk!”
Lupus jadi kena tegur ibunya. Ya. dia memang lebih menyambut hangat oleh-oleh yang dibawa daripada orangnya, kalau kedatangan tamu dari jauh.
“Abis percuma, Bu. Kalau saya ada atau tidak, kan tak ada pengaruhnya buat beliau-beliau. Seperti juga menjenguk Tante Mia, apa lantas setelah saya jenguk dia lantas langsung sembuh? jangan-jangan malah bertambah parah....” jawab Lupus membela diri. “Sebab, apa sih arti seorang Lupus buat mereka?”
“Tapi kamu nggak boleh begitu, dong!”
Lupus memang tak suka basa-basi. Sama ketika ibu Lupus akhirnya jadi ikut ke Bandung, ke rumah Tante Neli untuk melihat rumahnya yang baru, serelah acara perkawinan selesai.
“Boro-boro mau mengantar sampai ke Ban- dung. Bantuin mengangkat kopor ibunya sendiri saja tak mau. Benar-benar anak tak tau diri. Tak tau berterima kasih kepada orang tua. Lain sekali dengan Ridwan. Biar mau ujian, dia pasti mengantar kalau saya mau ke Jakarta,” kata Tante Neli ketus. Lupus jadi merah mukanya dan pergi dari situ. Dia paling tak suka kalau sudah dibanding-bandingkan dengan orang lain. Bukan- nya Lupus tak mau mengangkat kopor, tapi bawaan ibunya kan cuma sebuah tas kecil yang bisa dibawa dengan mudah, jadi buat apa berbasa-basi membawakannya? Dan lagi, kenapa harus diban- drngkan dengan Ridwan yang tak disukainya itu?
***
Sepeninggalan Tante Neli, keadaan rumah jadi sepi. Lupus jadi sering mikir, benarkah ia tak mempunyai rasa hormat seperri yang dikatakan Tame Neli? lbu Lupus memang tipe ibu yang tak banyak omong. Dia selalu mengerjakan apa- apanya sendiri tanpa banyak tuntutan. Tuntutan kepada anak-anaknya agar mau membantu atau mau dihormati. Dia tak pemah mengganggu kalau Lupus lagi tertidur nyenyak di kursi panjang saat mendengarkan kaset. Dia rela menunggui Lupus yang belum pulang sampai tengah malam. Dia tipe Ibu yang mengabdi, seperti ibu-ibu lainnya. Tanpa pernah menuntut imbalan.
Tapi apakah selama ini sikap itu membuat Lupus jadi tak hormat padanya?jadi seperti dimanjakan- nya? Apakah ibunya terkadang iri dengan Ridwan yang penuh perhatian pada Tante Neli itu? Yang pandai membawa diri kala berkumpul dengan keluarga lain? Yang selalu menjadi kebanggaan, karena suka menganrar ke mana ibunya pergi. meski ada ujian? Yang suka memijiti kaki ayahnya kala pulang kanror?
Lupus jadi melamun terus. Dia memang melihat pancaran duka yang terbersit sedikirt dari mata ibunya, ketika Tante Neli menyindir Lupus. Dan Tante Neli seakan hendak menunjukkan, bagaimana mendidik anak yang baik, seperti caranya itu. Penuh disiplin!
***
Lupus lagi asyik tiduran, ketika Lulu mengge- dor-gedor pintu sambil berteriak, “Bangun. Pus, Ibu pulang tuh! lbu pulangl” Tanpa pikir panjang lagi, Lupus Iangsung melompat dan berlari ke luar kamar. Menyusul Lulu yang sudah duluan menyambut.
“Kok lama, Bu, di Bandungnya? Kirain nggak inget pulang,” kata Lulu. Ibunya cuma tersenyum sambil memerintah sopir taksi umuk menurunkan barang-barang bawaannya dari bagasi.
“Gimana keadaan rumah, Pus? Baik-baik saja?”
“Tentu dong, Bu. Semuanya lancar. Kok lama di sananya? Betah, ya?”
lbunya terdiam sebentar. Lalu memandang Lupus dan Lulu bergantian.
“Sebetulnya Ibu mau pulang lebih awaI. Nggak tega ninggalin pekerjaan yang menumpuk di rumah. Tapi...”
“Lho, ada apa sih, Bu...?”
“ltu lho, anaknya Tante Neli, si Ridwan, dia terlibat beberapa kasus yang harus berurusan dengan polisi .... “
“Ridwan? Memangnya dia kenapa?”
“Rupanya sepeninggal Tante Neli ke jakarta, dia berbuat sesuatu yang kurang baik. Mengajak teman-temannya menginap di rumah yang baru. Pakai bawa-bawa perempuan segala. Dan ketika digebrak polisi, ternyata di sana juga terdapat beberapa obat terlarang. Saat itu ayahnya kan lagi tugas di Semarang, jadi lbu terpaksa tinggal beberapa hari menemani Tante Neli mengurusi perkara itu.”
Lulu dan Lupus terdiam. Mereka saling berpandangan. Suasana menjadi hening.
“Itulah. Bu.” sahut Lulu setelah beberapa saat. “Pada akhirnya fakta juga yang berbicara. Kita meski bandel-bandel, tetapi masih dalam batas kewajaran .... “
“Ya, ya. Ibu akui bahwa pada akhimya, Ibu lebih bangga pada kalian,” sahutnya sambil menggandeng kedua anaknya masuk rumah.
“Eh, Lupus. Kamu tidak membawa masuk Barang-baraang itu?” kata ibunya tiba-tiba, setelah berada di dalam.
“O iya, lupa. Sori deh...,” sahut Lupus cengar-cengir sambil buru-buru lari ke luar lagi. Ibunya cuma geleng-geleng kepala.
“Kadang Ibu pikir Lulu benar juga. Ibu akan lebih kebingungan kalau kehilangan sendok daripada kehilangan kamu, Pus!”
Lupus dan Lulu tertawa berbarengan.
Sapaan serempak dari arah belakang mengaget- kan Lupus yang lagi asyik mengaduk-aduk bak obralan di toko pakaian. Dengan spontan dia melepas ’barang antik’ yang tadi dia pegang, lalu membalik ke arah sumber suara tadi. Di situ berdiri Ita, Meta, dan Utari. Dengan senyum yang mengembang. Lupus malu berat. Padahal tadi dia sudah begitu berhati-hati. Lirik kanan-kiri untuk menyakinkan bahwa tak ada orang yang dikenal- nya di sekitar situ. Dia ingin sekali membeli beberapa celana dalam baru untuk mengganti dia punya yang sudah pada melar-melar karetnya. Tapi, kok ya kepergok teman juga. Cewek lagi! Tiga cewek ‘mini’ ini memang ke mana-mana selalu bertiga. Makanya sering dijuluki ‘trio the kids’. meski mereka sama sekali nggak setuju dengan julukan itu. Hobi mereka gila-gilaan: keliling- keliling pasaraya cuma untuk mergokin orang- orang yang belanja. Syukur-syukur bisa minta traktir. Lupus suka heran, apa mereka nggak takut dikira anak hilang nantinya?
“Apa khabar, Pus? Abis lebaran kemaren kok nggak nongol-nongol lagi? Makin langsing aja. Oya, poni kamu juga masih tetap gondrong tuh. Ceritanya mau nyaingin john Taylor, ya? Moga-moga aja mata kamu nggak kelilipan tiap menit. Moga-moga cuma sedikit juling. hehehe... nggak apa-apa kok juling dikit. Buktinya si Vina Panduwinata, biar bola matanya suka rada juling, tetap aja kece. Iya, nggak?” cerocos Meta.
Lupus cuma mengangguk. Nurut aja.
“Terusin aja milihnya, kok jadi diem? Buat lebaran, ya?”
“Enak aja! Lebaran kan udah lewat!”
“lya. Lebaran taun depan... hahaha .... “
Dan tiga cewek itu pergi lagi. Cari mangsa baru. Lupus sudah nggak semangat lagi mau milih-milih. Dia langsung ke tempat bakery. Beli beberapa roti pesanan ibunya untuk menyambut tamu agung di rumahnya.
***
Sore hari, tamu agung yang ditunggu-tunggu datang. Ibu Lupus dan Lulu menyambut dengan hangat. Lupus yang baru bangun tidur, ogah- ogahan ikut ke depan.
“Here comes the grump,” komentarnya yang langsung di-‘hush’ oleh ibunya. Dan tamu agung itu tak lain adalah Tante Neli. Kakak tertua ibu Lupus yang luar biasa cerewetnya. Turut serta dalam rombongan, kakak nomor dua ibu Lupus dan Ridwan, anak Tante Neli. Mereka semua datang dalam rangka akan menghadiri upacara pernikahan anaknya Tante Mia.
Lupus sebetulnya kurang suka rame-rame begitu. Apalagi kalau sampai terpaksa tidurnya digusur ke ruang tengah, karena kamarnya dipakai. (Maklumlah, kamar di rumah Lupus tak banyak). Wah, sedih sekali. Nyamuk di situ Iuar biasa ganasnya. Lupus yang memang kurang begitu hobi tidur dikerumuni nyamuk (lagi, apa iya ada yang suka begitu? Kahu dikerumuni cewek sih boleh aja!), jelas jadi merasa tersiksa.
“Lupus, ini lho ada Ridwan!” sahut ibunya ketika Lupus malah buru-buru balik takut kamarnya di-booking. Lupus juga kurang suka pada makhluk kesayangan Tante Neli ini. Si Ridwan. Dia suka cari muka dan meremehkan orang lain. Kalau bukan saudara, pasti sudah diajak musuhan oleh Lupus dari dulu-dulu.
“Hei, apa kabar Lupus!” sapanya dengan gaya yang dibuat-buat.
Lupus cuma nyengir. Lalu membiarkan makh- luk itu bercerita panjang lebar sama Lulu. Biasa, cowok memang begitu. Dan bersikap sok jentel di depan Lulu dan tante-tante yang lain. Bolak-balik membawa keranjang yang berat-berat. Nggak kaya Lupus yang malah sibuk bongkar-bongkar oleh-oleh. Kali-kali aja ada permen karet.
***
Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih, karena sepulang sekolah langsung me- nyelesaikan laporan di kantor majalahnya, dia terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama Ridwan itu sudah pulang sejak pagi tadi. “Belum liburan,” katanya. Syukurlah. Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung melompat ke tempar tidur. Wah, betapa nikmat- nya! Pusing-pusing sedikit yang tadi merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama terbang- nya dia ke alam mimpi.
Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara beduk bertalu-talu. Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah tidak, menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib? Kok cepat sekali? lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu magrib tetap saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji. Tapi, eh, kok beduknya rada lain bunyinya? Dan rasanya terdengar semakin dekat dan dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk. Tapi ada orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa makhluk yang tak berperikemanusiaan itu? Keluh Lupus yang dengan malas langsung membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang terasa berat unruk dibuka.
Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk. “Kamu ini bagaimana sih? Datang- datang langsung tidur. Tak punya kesadaran sama sekali! Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para langganan di dapur. Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa gitu!” semprotnya nggak tanggung-tanggung.
“No way!” sahut Lupus pendek dan langsung mengunci kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup kepalanya erat-erat dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli.
Tante Neli, begitu tepat nama itu untuknya. Dia memang persis nenek-nenek cerewet yang kelin- cahan. Lupus bukannya tak mau bantu ibunya, tapi dia memang benar-benar letih. Ibunya iuga maklum. Dan lagi, bukankah ibunya sudah mempunyai empat orang pembantu yang siap menolong setiap saat? Ditambah Tante Neli dan tante-tante lainnya yang bisa digunakan tenaga- nya, daripada nggosip nggak keruan. jadi, dasar aja Tante Neli yang nggak bisa lihat orang senang! Begitu kesimpulan yang diambil Lupus. Dan dia pun bisa melanjutkan tidumya dengan tenang. Tanpa merasa berdosa.
Tapi kesimpulan itu memang tak terlalu salah. Seperti keesokan sorenya ketika Lupus lagi asyik main ayunan yang diikatkan pada pohon jambu bersama Lulu. Lupus mendorong kuat-kuat, sehingga ayunan itu terayun gila-gilaan, membuat Lulu menjerit ketakutan. Di tengah keasyikan itu, Tante Neli tiba-tiba muncul dengan jeritan histerisnya, “Hei, hentikan! Hentikan! Lihat daun-daun jambunya pada berjatuhan. Ayo, bersihkan! Kalian ini bagaimana, sih? Sudah pada gede-gede juga masih kayak anak kecil tingkahnya. Kalian pikir tidak berbahaya main ayun-ayunan Kencang-kencang begitu? Nggak punya otak! Kamu juga, Lupus, kamu kan anak laki-laki tertua. Satu-satunya lagi. Kamu seharusnya bisa meng- gantikan kedudukan ayahmu almarhum. Bersikap- lah dewasa sedikit, tidak seperti anak kecil begitu. Boro-boro deh mau bantuin ibu kamu kerja .... “
Begitulah usilnya Tante Neli. Bahkan hiburan Satu-satunya yang mereka miliki juga dilarang. Terpaksa sore itu Lupus dan Lulu kena setrap untuk menyapu seluruh halaman belakang rumah yang cukup luas itu. Ayam-ayam yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus dekat Lupus. Seolah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak terganggu ketika lagi asyik-asyik tidur di atas pohon jambu, tiba-tiba pohonnya bergoyang- goyang ikut terayun. Dengan keki, Lupus menyambit ayam-ayam sialan itu dengan sapu lidi.
“Lupus, kalau kerja yang betul. ya!” lagi-lagi terdengar teriakan Tante Neli.
Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah serba nggak bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga suka diatur-atur. Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de el el. lbu Lupus cuma senyum- senyum aja ketika Lulu mengadukan semua kejengkelannya.
“Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang teliti dan sangat disiplin.”
Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka ribut-ribut sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan terengah-engah lari-lari masuk ke rumah. langsung ngoceh, “Gila, Iho, tadi di pasar ada yang dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali. Hampir orang sepasar ikut mengeroyoki!”
Tante Neli langsung berdiri panik. “Siapa?Siapa orangnya? Kasihan betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan orang-orang zaman sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu? Masih hidup? Siapa, Lupus? Pelajar? Atau pencuri?”
“Bukan. Tikus.... “ sahut lupus tenang dan langsung masuk kamar.
***
Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai membicarakan dirinya saat saudara-saudara yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia suka membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.
“Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau Saudara-saudaranya lagi pada kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya men- dekam di kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau perhatian pada kita, para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang nolong. Kalau diajak bicara, suka sembarangan menjawab sampai terus mengunyah permen. Betapa tidak sopannya. Tamu dari jauh seperti saya ini, tidak pernah disambutnya dengan hangat. Atau ketika Tante Mia diopname, dia sama sekali tak menjenguk!”
Lupus jadi kena tegur ibunya. Ya. dia memang lebih menyambut hangat oleh-oleh yang dibawa daripada orangnya, kalau kedatangan tamu dari jauh.
“Abis percuma, Bu. Kalau saya ada atau tidak, kan tak ada pengaruhnya buat beliau-beliau. Seperti juga menjenguk Tante Mia, apa lantas setelah saya jenguk dia lantas langsung sembuh? jangan-jangan malah bertambah parah....” jawab Lupus membela diri. “Sebab, apa sih arti seorang Lupus buat mereka?”
“Tapi kamu nggak boleh begitu, dong!”
Lupus memang tak suka basa-basi. Sama ketika ibu Lupus akhirnya jadi ikut ke Bandung, ke rumah Tante Neli untuk melihat rumahnya yang baru, serelah acara perkawinan selesai.
“Boro-boro mau mengantar sampai ke Ban- dung. Bantuin mengangkat kopor ibunya sendiri saja tak mau. Benar-benar anak tak tau diri. Tak tau berterima kasih kepada orang tua. Lain sekali dengan Ridwan. Biar mau ujian, dia pasti mengantar kalau saya mau ke Jakarta,” kata Tante Neli ketus. Lupus jadi merah mukanya dan pergi dari situ. Dia paling tak suka kalau sudah dibanding-bandingkan dengan orang lain. Bukan- nya Lupus tak mau mengangkat kopor, tapi bawaan ibunya kan cuma sebuah tas kecil yang bisa dibawa dengan mudah, jadi buat apa berbasa-basi membawakannya? Dan lagi, kenapa harus diban- drngkan dengan Ridwan yang tak disukainya itu?
***
Sepeninggalan Tante Neli, keadaan rumah jadi sepi. Lupus jadi sering mikir, benarkah ia tak mempunyai rasa hormat seperri yang dikatakan Tame Neli? lbu Lupus memang tipe ibu yang tak banyak omong. Dia selalu mengerjakan apa- apanya sendiri tanpa banyak tuntutan. Tuntutan kepada anak-anaknya agar mau membantu atau mau dihormati. Dia tak pemah mengganggu kalau Lupus lagi tertidur nyenyak di kursi panjang saat mendengarkan kaset. Dia rela menunggui Lupus yang belum pulang sampai tengah malam. Dia tipe Ibu yang mengabdi, seperti ibu-ibu lainnya. Tanpa pernah menuntut imbalan.
Tapi apakah selama ini sikap itu membuat Lupus jadi tak hormat padanya?jadi seperti dimanjakan- nya? Apakah ibunya terkadang iri dengan Ridwan yang penuh perhatian pada Tante Neli itu? Yang pandai membawa diri kala berkumpul dengan keluarga lain? Yang selalu menjadi kebanggaan, karena suka menganrar ke mana ibunya pergi. meski ada ujian? Yang suka memijiti kaki ayahnya kala pulang kanror?
Lupus jadi melamun terus. Dia memang melihat pancaran duka yang terbersit sedikirt dari mata ibunya, ketika Tante Neli menyindir Lupus. Dan Tante Neli seakan hendak menunjukkan, bagaimana mendidik anak yang baik, seperti caranya itu. Penuh disiplin!
***
Lupus lagi asyik tiduran, ketika Lulu mengge- dor-gedor pintu sambil berteriak, “Bangun. Pus, Ibu pulang tuh! lbu pulangl” Tanpa pikir panjang lagi, Lupus Iangsung melompat dan berlari ke luar kamar. Menyusul Lulu yang sudah duluan menyambut.
“Kok lama, Bu, di Bandungnya? Kirain nggak inget pulang,” kata Lulu. Ibunya cuma tersenyum sambil memerintah sopir taksi umuk menurunkan barang-barang bawaannya dari bagasi.
“Gimana keadaan rumah, Pus? Baik-baik saja?”
“Tentu dong, Bu. Semuanya lancar. Kok lama di sananya? Betah, ya?”
lbunya terdiam sebentar. Lalu memandang Lupus dan Lulu bergantian.
“Sebetulnya Ibu mau pulang lebih awaI. Nggak tega ninggalin pekerjaan yang menumpuk di rumah. Tapi...”
“Lho, ada apa sih, Bu...?”
“ltu lho, anaknya Tante Neli, si Ridwan, dia terlibat beberapa kasus yang harus berurusan dengan polisi .... “
“Ridwan? Memangnya dia kenapa?”
“Rupanya sepeninggal Tante Neli ke jakarta, dia berbuat sesuatu yang kurang baik. Mengajak teman-temannya menginap di rumah yang baru. Pakai bawa-bawa perempuan segala. Dan ketika digebrak polisi, ternyata di sana juga terdapat beberapa obat terlarang. Saat itu ayahnya kan lagi tugas di Semarang, jadi lbu terpaksa tinggal beberapa hari menemani Tante Neli mengurusi perkara itu.”
Lulu dan Lupus terdiam. Mereka saling berpandangan. Suasana menjadi hening.
“Itulah. Bu.” sahut Lulu setelah beberapa saat. “Pada akhirnya fakta juga yang berbicara. Kita meski bandel-bandel, tetapi masih dalam batas kewajaran .... “
“Ya, ya. Ibu akui bahwa pada akhimya, Ibu lebih bangga pada kalian,” sahutnya sambil menggandeng kedua anaknya masuk rumah.
“Eh, Lupus. Kamu tidak membawa masuk Barang-baraang itu?” kata ibunya tiba-tiba, setelah berada di dalam.
“O iya, lupa. Sori deh...,” sahut Lupus cengar-cengir sambil buru-buru lari ke luar lagi. Ibunya cuma geleng-geleng kepala.
“Kadang Ibu pikir Lulu benar juga. Ibu akan lebih kebingungan kalau kehilangan sendok daripada kehilangan kamu, Pus!”
Lupus dan Lulu tertawa berbarengan.
0 komentar:
Posting Komentar