Lupus mendadak
genit. Jadi teliti banget dalam merawat tubuh. Setidaknya, itu kata
Lulu, adik Lupus semata wayang. Dia yang melaporkan hasil laporan
pandangm matanya selama empat hari terakhir ini kepada ibunya.
“lya lho, Bu—dia jadi genit sekarang!”
“Ah, masa?”
“Ealah, lbu nggak percaya. Saya sering liat dia ngaca sendirian berjam-jam. Senyum-senyum sendiri. Gila kali ya, Bu?”
“Hus!”
Tapi memang betul. Lupus yang biasanya bangun telat. yang selalu terburu-buru mandi dan berpakaian sekenanya untuk mengejar waktu yang tinggal beberapa menit lagi agar tidak terlambat sekolah, kini subuh—subuh sudah bangun. Lebih rajin dari ayam jagonya yang kini mulai enggan berkokok, lantaran jatah jagungnya dikurangi biasa, resesi!. ltu sebabnya dua hari yang lalu, dia beli jam weker kuno dari kaleng itu. Yang bunyinya bisa ngebangunin orang sekelurahan, Lantaran keras sekali. Ayam betinanya aja sempat histeris sewaktu mendengar dering weker itu untuk pertama kalinya.
Lulu yang tidur bersebelahan kamar dengannya. protes keras atas digunakannya weker sialan itu.
”Ya ampun, Lupus, pasang weker jangan di tengah malam buta begini dong!”
“Kamu aja yang dasarnya malas. Ini kan udah pagi. Bangun, dooong!”
Tapi rajinnya Lupus ini memang rada aneh. Bangun pagi-pagi cuma sibuk milihin baju, dan menyetrikanya. lni aneh, dan memancing kecu- rigaan Lulu. Biasanya, boro-boro disetrika, baju dari jemuran langsung main samber aja. Dan bayangin juga kalau dia yang biasanya mandi sekali sehari, kini jadi tiga kali sehari sehabis makan (kaya minum obat aja!).Jadi rajin sikat gigi, ngilik-ngilik kuping (soalnya nggak lucu kan kalo pacaran tapinya budi—rada budek dikit. Sebab orang pacaran itu biasanya lebih sering bisik-bisik, atau ngomong mendesah-desah, ketimbang teriak- teriak. Dan itu butuh pendengaran yang peka lho!). Tapi, apa sih penyebab dari semua ini? Kita ikuti saja laporan pandangan mata selanjutnya dari reporter kita, Lulu.
“Ternyata, dia lagi jatuh cinta, Bu.”
“Ah, masa? Rasanya tak terlalu aneh kan kalau seseorang itu suatu saat akan berubah. Ibu senang kalau dia sudah mulai memperhatikan dirinya sendiri .... “ komentar ibunya singkat.
Dan Lulu tak bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan meledek. Sengaja nyanyi lagu First Love keras-keras,
.... Ev’ryone can see, there’s a change in me They all say I’m not the same kid I used to be It’s my first loye, what I ‘m dreaming of.....
Tapi Lupus acuh saja. Orang kata, punya pacar itu memang enak. Kita jadi ada yang memperhati- kan. Semangat belajar, semangat sekolah. Dan setiap malam minggu, bisa punya acara khusus. Nggak memble aje di rumah. Bisa menjurnal diri, dan terus meningkatkan penampilan. Tau kan, siapa pacar Lupus? Yak, betul. Namanya Poppi. Teman sekolah Lupus yang hampir saban hari diantar-jemput sopirnya.
Lupus juga jadi rajin membersihkan muka pake face tonic. Dan yang jadi korban adalah Lulu. Alat-alat pembersihnya jadi transmigran semua ke kamar Lupus. Seperti sekarang ini, dia nyolong styling foam adiknya, untuk membentuk rambut- nya yang gondrong. Bolak-balik memandangi poster Duran Duran untuk ngikutin gaya rambutnya. Sudah setengah jam lebih dia berkutet di depan cermin. Setelah merasa pas, dia keluar kamar dan mulai berjalan hilir-mudik di depan Lulu yang lagi asyik makan. Bak peragawan.
“Lu, rambut saya keren nggak?”
“Hei, kamu pake styling foam saya, ya!!” jerit Lulu seketika. Tanpa ampun nasi-nasi yang lagi dikunyahnya berhamburan ke luar.
“Pelit! Minta sedikit kenapa sih?” sahut Lupus sambil berlari masuk kamar kembali. Lulu menggedor-gedor dari Iuar.
“Lupuuuus, jangan diabisin dong. Itu kan mahal!”
“Duile, minta dikit aje. Ntar kalau saya kelihatan keren kan kamu bangga juga. Bisa dipromosiin ke temen-temen kamu. Bisa nebeng top. Siapa sih yang nggak bangga punya kakak kayak john TayIor?” terdengar suara Lupus dari dalam.
“Hu..., ge-er!”
Dan setengah jam berikutnya, dia kembali Mengatur-atur rambutnya. Dengan membasahi sedikit pada bagian pinggir, biar memberi efek basah yang tahan lama. Ha, siapa bilang cuma cewek saja yang merasa rambut sebagai mah- kotanya!
Setelah selesai dia menemui ibunya yang asyik di dapur untuk minta doa restu (dikata mau perang apa?). “Bu, saya pergi dulu. Mungkin sampai malam atau nginep, jadi nggak usah dicariin deh. Kan malam minggu .... “
“Huuu... Ibu sih lebih kebingungan kalo kehilangan sendok daripada kehilangan kamu!” ledek adiknya.
Lupus cuma mencibir sambil membuat balon- balonan dari permen karetnya yang dikunyah.
”Lu, rambut saya keren, ya? Pake efek basah!” sahut Lupus nyombong, sambil mengusap-usap rambutnya. Sengaja mau bikin keki.
“Hm... kalau mau tahan lebih lama lagi efek basahnya, bukan begiru caranya...,” komentar Lulu seraya meneliti rambut Lupus.
“Eh, gimana dong?” sahut Lupus penuh minat. Nggak nyangka adiknya bakal kasih perhatian juga.
”Ceburin aja kepalanya ke sumur... hahaha .... “
“Jangkrik!”
***
Sekarang ini, dia lagi asyik duduk di pojokan sambil makan permen karet dalam bis Patas yang ditumpanginya. Khusus untuk acara-acara berseja- rah seperti malam minggu ini, Lupus memang mengistimewakannya dengan menumpang bis Patas, bukan bis biasa. Alasannya, di samping lebih leluasa duduk, parfum dan rambutnya nggak berantakan berbaur oleh penumpang-penumpang lain.
Dan kini, masih mengunyah permen karet, dia lagi asyik ngebayangin Poppi yang bakal terka- gum-kagum melihat penampilannya yang rada lain. Terutama rambutnya. Padahal bapak-bapak yang duduk di sebelahnya sempat geleng-geleng kepala melihat rambut Lupus yang menurutnya seperti tak disisir selama berminggu-minggu.
Sementara bis Patas-nya masih melesat menem- bus udara malam yang kian dingin. Di luar memang berhembus angin kencang. Lupus sempat memaki-maki ketika dia membuka jendela, dan diserang oleh angin sialan yang mengacak-acak rambutnya.
”Kenapa, Nak, kok marah-marah?” tanya Bapak-bapak di sebelahnya.
“Eh, enggak kok. Anu, anginnya kencang sekali. Bikin rambut kusut saja...,” jawab Lupus sambil nyengir.
“Bikin kusut?”
”Iya, kok Bapak heran?”
“Lho, tadi bukannya lebih kusut lagi?” tanya bapak itu lagi.
Lupus nyengir, dan membuang pandangan ke luar jendela. Tapi, ya amplop! Di luar turun hujan. Rintik-rintik. Dan itu tak menjadi soal benar kalau tidak disusul oleh hujan deras. Bagaimana saya bisa turun tanpa kehujanan?
Dan ketika bis itu melewati pasar Blok M, Lupus cemas total. Semua penumpang pada turun, kecuali Lupus. Dan biasanya kondektur suka seenaknya menurunkan penumpang kalau tinggal sendirian. Lupus sibuk komat-kamit di pojokan. Baca mantera biar ngusir pikiran jahat sang kondektur. Tapi, benar juga. Begitu lewat Blok A, kondektur itu mulai menghampiri Lupus.
“Dik, turun di mana?”
“Cilandak! Kenapa?”
”Ya, gimana, ya. Kita mau langsung pulang nih. Pindah bis belakang aja, ya? lni ongkosnya saya kembaliin!”
”Tapi...”
“Ayo, cepatlah. Masa saya harus ke Pondok Labu dengan satu penumpang saja?”
Lupus tetap protes. Masalahnya di luar masih hujan deras. Tapi apa boleh buat, kondektur itu cukup besar juga badannya. Terpaksa Lupus diturunkan di pinggir jalan. Dengan dongkol yang meluap-luap dia melompat turun. Tapi, ya, Tuhan, di daerah situ sama sekali tak ada tempat berteduh. Mana hujan masih deras. Walhasil, dengan keadaan basah kuyup, dia berlarian menelusuri malam. Sampai menemukan pember- hentian bis. Dan ketika sebuah metro melintas, Lupus melompat ke dalamnya.
Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur got. Basah kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa dibayangkan, betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah Poppi dengan keadaan basah kuyup begini? Betapa memalukan. Dan apa kata orang tuanya nanti?
Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke rumah. Kalau balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa terpingkal-pingkalnya Lulu melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan hanya efek basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula sudah kepalang tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.
***
Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma berjalan lemas ke tempat pember- hentian bis, dan menyandar lemas pada tiang penyangga. Benar-benar don’t know what to do. Tak ada gairah lagi untuk terus ke rumah Poppi yang tinggal beberapa meter lagi. Semuanya sirna bersama tetes air huian yang membasahi tubuhnya. Lupus mengusap wajahnya dengan sedih. Baru kali ini dia merasa begitu menderita. Kedinginan sekujur tubuh. Bibirnya pun mulai membiru. Setengah mati menahan air matanya yang hendak berbaur bersama air hujan, karena kesal. Tidak, saya harus pulang! Harga diri saya bakalan jatuh di pasaran! batinnya.
Dan dia hendak melangkah pergi, ketika matanya tertumbuk pada seorang gadis yang berpayung beberapa langkah dari situ.
Lupus mencoba mtnghampiri.
“Poppi?” tanyanya ragu. Gadis itu terkejut dan menoleh. “Lagi ngapain, Pop?”
“Ya, Tuhan, Lupus. Kok basah kuyup begini? Dan bibir kamu itu... birunya! Aduh, kamu kehujanan. ya?” berondong Poppi sambil meng- guncang-guncangkan bahu Lupus.
“Enggak!” sahut Lupus kering
“Ayo ke rumah. Saya udah cemas banget, lho. Saya pikir kamu nggak bakalan datang, hujan-hujan begini .... “ sahutnya lagi sambil menarik tangan Lupus.
“Tapi saya malu, Pop. Basah kuyup begini .... ”
“Kenapa malu? Saya malah bangga, karena kamu bela-belain dateng meski hujan deras, itu kan tandanya kamu bertanggung jawab. Selalu menepati janji. Saya suka orang yang menghargai janji .... “ sahut Poppi ceria. “Ayolah, nanti kamu kedinginan. Di rumah akan saya suruh sediakan air hangat, dan baju buat ganti. Biar nggak masuk angin .... “
Lupus jadi terharu.
”Satu pertanyaan lagi, Poppi. Apa kamu lagi nungguin saya dengan berpayung kaya tadi?”
“Pertanyaan jelek! Abis nunggu siapa lagi dong? Saya pikir kamu belum basah kuyup begini. jadi saya bawain payung. Tapi ternyaxa kamu doyan basah-basahan. Senang mandi hujan. Dasar, masa kecil kurang bahagia, ya?”
Lupus tersenyum kecut. Nah, kan, punya pacar itu enak?
“lya lho, Bu—dia jadi genit sekarang!”
“Ah, masa?”
“Ealah, lbu nggak percaya. Saya sering liat dia ngaca sendirian berjam-jam. Senyum-senyum sendiri. Gila kali ya, Bu?”
“Hus!”
Tapi memang betul. Lupus yang biasanya bangun telat. yang selalu terburu-buru mandi dan berpakaian sekenanya untuk mengejar waktu yang tinggal beberapa menit lagi agar tidak terlambat sekolah, kini subuh—subuh sudah bangun. Lebih rajin dari ayam jagonya yang kini mulai enggan berkokok, lantaran jatah jagungnya dikurangi biasa, resesi!. ltu sebabnya dua hari yang lalu, dia beli jam weker kuno dari kaleng itu. Yang bunyinya bisa ngebangunin orang sekelurahan, Lantaran keras sekali. Ayam betinanya aja sempat histeris sewaktu mendengar dering weker itu untuk pertama kalinya.
Lulu yang tidur bersebelahan kamar dengannya. protes keras atas digunakannya weker sialan itu.
”Ya ampun, Lupus, pasang weker jangan di tengah malam buta begini dong!”
“Kamu aja yang dasarnya malas. Ini kan udah pagi. Bangun, dooong!”
Tapi rajinnya Lupus ini memang rada aneh. Bangun pagi-pagi cuma sibuk milihin baju, dan menyetrikanya. lni aneh, dan memancing kecu- rigaan Lulu. Biasanya, boro-boro disetrika, baju dari jemuran langsung main samber aja. Dan bayangin juga kalau dia yang biasanya mandi sekali sehari, kini jadi tiga kali sehari sehabis makan (kaya minum obat aja!).Jadi rajin sikat gigi, ngilik-ngilik kuping (soalnya nggak lucu kan kalo pacaran tapinya budi—rada budek dikit. Sebab orang pacaran itu biasanya lebih sering bisik-bisik, atau ngomong mendesah-desah, ketimbang teriak- teriak. Dan itu butuh pendengaran yang peka lho!). Tapi, apa sih penyebab dari semua ini? Kita ikuti saja laporan pandangan mata selanjutnya dari reporter kita, Lulu.
“Ternyata, dia lagi jatuh cinta, Bu.”
“Ah, masa? Rasanya tak terlalu aneh kan kalau seseorang itu suatu saat akan berubah. Ibu senang kalau dia sudah mulai memperhatikan dirinya sendiri .... “ komentar ibunya singkat.
Dan Lulu tak bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan meledek. Sengaja nyanyi lagu First Love keras-keras,
.... Ev’ryone can see, there’s a change in me They all say I’m not the same kid I used to be It’s my first loye, what I ‘m dreaming of.....
Tapi Lupus acuh saja. Orang kata, punya pacar itu memang enak. Kita jadi ada yang memperhati- kan. Semangat belajar, semangat sekolah. Dan setiap malam minggu, bisa punya acara khusus. Nggak memble aje di rumah. Bisa menjurnal diri, dan terus meningkatkan penampilan. Tau kan, siapa pacar Lupus? Yak, betul. Namanya Poppi. Teman sekolah Lupus yang hampir saban hari diantar-jemput sopirnya.
Lupus juga jadi rajin membersihkan muka pake face tonic. Dan yang jadi korban adalah Lulu. Alat-alat pembersihnya jadi transmigran semua ke kamar Lupus. Seperti sekarang ini, dia nyolong styling foam adiknya, untuk membentuk rambut- nya yang gondrong. Bolak-balik memandangi poster Duran Duran untuk ngikutin gaya rambutnya. Sudah setengah jam lebih dia berkutet di depan cermin. Setelah merasa pas, dia keluar kamar dan mulai berjalan hilir-mudik di depan Lulu yang lagi asyik makan. Bak peragawan.
“Lu, rambut saya keren nggak?”
“Hei, kamu pake styling foam saya, ya!!” jerit Lulu seketika. Tanpa ampun nasi-nasi yang lagi dikunyahnya berhamburan ke luar.
“Pelit! Minta sedikit kenapa sih?” sahut Lupus sambil berlari masuk kamar kembali. Lulu menggedor-gedor dari Iuar.
“Lupuuuus, jangan diabisin dong. Itu kan mahal!”
“Duile, minta dikit aje. Ntar kalau saya kelihatan keren kan kamu bangga juga. Bisa dipromosiin ke temen-temen kamu. Bisa nebeng top. Siapa sih yang nggak bangga punya kakak kayak john TayIor?” terdengar suara Lupus dari dalam.
“Hu..., ge-er!”
Dan setengah jam berikutnya, dia kembali Mengatur-atur rambutnya. Dengan membasahi sedikit pada bagian pinggir, biar memberi efek basah yang tahan lama. Ha, siapa bilang cuma cewek saja yang merasa rambut sebagai mah- kotanya!
Setelah selesai dia menemui ibunya yang asyik di dapur untuk minta doa restu (dikata mau perang apa?). “Bu, saya pergi dulu. Mungkin sampai malam atau nginep, jadi nggak usah dicariin deh. Kan malam minggu .... “
“Huuu... Ibu sih lebih kebingungan kalo kehilangan sendok daripada kehilangan kamu!” ledek adiknya.
Lupus cuma mencibir sambil membuat balon- balonan dari permen karetnya yang dikunyah.
”Lu, rambut saya keren, ya? Pake efek basah!” sahut Lupus nyombong, sambil mengusap-usap rambutnya. Sengaja mau bikin keki.
“Hm... kalau mau tahan lebih lama lagi efek basahnya, bukan begiru caranya...,” komentar Lulu seraya meneliti rambut Lupus.
“Eh, gimana dong?” sahut Lupus penuh minat. Nggak nyangka adiknya bakal kasih perhatian juga.
”Ceburin aja kepalanya ke sumur... hahaha .... “
“Jangkrik!”
***
Sekarang ini, dia lagi asyik duduk di pojokan sambil makan permen karet dalam bis Patas yang ditumpanginya. Khusus untuk acara-acara berseja- rah seperti malam minggu ini, Lupus memang mengistimewakannya dengan menumpang bis Patas, bukan bis biasa. Alasannya, di samping lebih leluasa duduk, parfum dan rambutnya nggak berantakan berbaur oleh penumpang-penumpang lain.
Dan kini, masih mengunyah permen karet, dia lagi asyik ngebayangin Poppi yang bakal terka- gum-kagum melihat penampilannya yang rada lain. Terutama rambutnya. Padahal bapak-bapak yang duduk di sebelahnya sempat geleng-geleng kepala melihat rambut Lupus yang menurutnya seperti tak disisir selama berminggu-minggu.
Sementara bis Patas-nya masih melesat menem- bus udara malam yang kian dingin. Di luar memang berhembus angin kencang. Lupus sempat memaki-maki ketika dia membuka jendela, dan diserang oleh angin sialan yang mengacak-acak rambutnya.
”Kenapa, Nak, kok marah-marah?” tanya Bapak-bapak di sebelahnya.
“Eh, enggak kok. Anu, anginnya kencang sekali. Bikin rambut kusut saja...,” jawab Lupus sambil nyengir.
“Bikin kusut?”
”Iya, kok Bapak heran?”
“Lho, tadi bukannya lebih kusut lagi?” tanya bapak itu lagi.
Lupus nyengir, dan membuang pandangan ke luar jendela. Tapi, ya amplop! Di luar turun hujan. Rintik-rintik. Dan itu tak menjadi soal benar kalau tidak disusul oleh hujan deras. Bagaimana saya bisa turun tanpa kehujanan?
Dan ketika bis itu melewati pasar Blok M, Lupus cemas total. Semua penumpang pada turun, kecuali Lupus. Dan biasanya kondektur suka seenaknya menurunkan penumpang kalau tinggal sendirian. Lupus sibuk komat-kamit di pojokan. Baca mantera biar ngusir pikiran jahat sang kondektur. Tapi, benar juga. Begitu lewat Blok A, kondektur itu mulai menghampiri Lupus.
“Dik, turun di mana?”
“Cilandak! Kenapa?”
”Ya, gimana, ya. Kita mau langsung pulang nih. Pindah bis belakang aja, ya? lni ongkosnya saya kembaliin!”
”Tapi...”
“Ayo, cepatlah. Masa saya harus ke Pondok Labu dengan satu penumpang saja?”
Lupus tetap protes. Masalahnya di luar masih hujan deras. Tapi apa boleh buat, kondektur itu cukup besar juga badannya. Terpaksa Lupus diturunkan di pinggir jalan. Dengan dongkol yang meluap-luap dia melompat turun. Tapi, ya, Tuhan, di daerah situ sama sekali tak ada tempat berteduh. Mana hujan masih deras. Walhasil, dengan keadaan basah kuyup, dia berlarian menelusuri malam. Sampai menemukan pember- hentian bis. Dan ketika sebuah metro melintas, Lupus melompat ke dalamnya.
Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur got. Basah kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa dibayangkan, betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah Poppi dengan keadaan basah kuyup begini? Betapa memalukan. Dan apa kata orang tuanya nanti?
Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke rumah. Kalau balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa terpingkal-pingkalnya Lulu melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan hanya efek basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula sudah kepalang tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.
***
Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma berjalan lemas ke tempat pember- hentian bis, dan menyandar lemas pada tiang penyangga. Benar-benar don’t know what to do. Tak ada gairah lagi untuk terus ke rumah Poppi yang tinggal beberapa meter lagi. Semuanya sirna bersama tetes air huian yang membasahi tubuhnya. Lupus mengusap wajahnya dengan sedih. Baru kali ini dia merasa begitu menderita. Kedinginan sekujur tubuh. Bibirnya pun mulai membiru. Setengah mati menahan air matanya yang hendak berbaur bersama air hujan, karena kesal. Tidak, saya harus pulang! Harga diri saya bakalan jatuh di pasaran! batinnya.
Dan dia hendak melangkah pergi, ketika matanya tertumbuk pada seorang gadis yang berpayung beberapa langkah dari situ.
Lupus mencoba mtnghampiri.
“Poppi?” tanyanya ragu. Gadis itu terkejut dan menoleh. “Lagi ngapain, Pop?”
“Ya, Tuhan, Lupus. Kok basah kuyup begini? Dan bibir kamu itu... birunya! Aduh, kamu kehujanan. ya?” berondong Poppi sambil meng- guncang-guncangkan bahu Lupus.
“Enggak!” sahut Lupus kering
“Ayo ke rumah. Saya udah cemas banget, lho. Saya pikir kamu nggak bakalan datang, hujan-hujan begini .... “ sahutnya lagi sambil menarik tangan Lupus.
“Tapi saya malu, Pop. Basah kuyup begini .... ”
“Kenapa malu? Saya malah bangga, karena kamu bela-belain dateng meski hujan deras, itu kan tandanya kamu bertanggung jawab. Selalu menepati janji. Saya suka orang yang menghargai janji .... “ sahut Poppi ceria. “Ayolah, nanti kamu kedinginan. Di rumah akan saya suruh sediakan air hangat, dan baju buat ganti. Biar nggak masuk angin .... “
Lupus jadi terharu.
”Satu pertanyaan lagi, Poppi. Apa kamu lagi nungguin saya dengan berpayung kaya tadi?”
“Pertanyaan jelek! Abis nunggu siapa lagi dong? Saya pikir kamu belum basah kuyup begini. jadi saya bawain payung. Tapi ternyaxa kamu doyan basah-basahan. Senang mandi hujan. Dasar, masa kecil kurang bahagia, ya?”
Lupus tersenyum kecut. Nah, kan, punya pacar itu enak?
0 komentar:
Posting Komentar