Home » » LUPUS KECIL "05. Razia Rambut"

LUPUS KECIL "05. Razia Rambut"

Ditulis Oleh Unknown on Senin, 08 April 2013 | 00.09

Lupus berjalan memasuki pintu gerbang sekolah. Menenteng ransel sambil iseng menghitung jumlah cewek yang sudah asyik majang di hari yang sepagi dan seindah ini. Ada yang asyik ketawa-ketawa, ada yang sibuk meneliti daftar absen. Cari-cari, siapa yang enak buat digosipin. Salah satu di antaranya adalah Ruri. Anak ini memang biang gosip. Hobinya ngegosipin anak-anak sesekolah. kalo kamu ingin ngetop—dalam arti jadi gunjing- an anak-anak satu sekolah—gampang aja. Tinggal suruh temen kamu ngarang cerita bohong kepada Ruri. Tanggung satu hari bakal menyebar. Dan jangan heran kalau kerangka cerita yang kamu berikan itu akan berkembang jadi satu cerita panjang yang penuh bumbu.

Ruri memang berbakat jadi wartawan gosip. Tapi ketika Lupus iseng bertanya tentang cita-citanya pada suatu hari, jawabannya cukup mengejutkan. Dia ingin kerja di BAKIN. Mau jadi agen rahasia negara kita. Ya, Tuhan, nanti bukannya mengorek keterangan dari musuh, malah keceplosan ngebocorin rahasia negara. Dari  sekarang dibilangin aja, buat kamu yang demen gosip. jangan jadi agen rahasia, deh. Bukan apa-apa, kurang begitu cocok aja dengan profesi dan hobi yang telah kamu tanam sejak keeil.

Sementara, udara pagi ini masih segar. Sesegar wajah Suli, cewek manis berambut panjang yang berlari-lari ke arah Lupus.

“Hei, Anak kecil. mau ke mana? Kok buru- buru?” goda Lupus. Anak itu cuma mencibir.

“Eh, Lupus. Telepon umum di depan sana jalan nggak?” tanyanya di sela napas yang terengah- engah.

“Enggak tuh!” jawab Lupus jujur.

”Yaaaa...” wajah Suli jadi berubah kebingung- an. Dia berbalik hendak kembali ke kelasnya. Tapi Lupus segera menahannya.

“Eh, Suli, kalau mau telepon, pake aja. Kok nggak jadi?”

“Lho, katanya nggak jalan?”

“lya memang. Telepon kan nggak bisa jalan. Kalau misalnya bisa jalan-jalan, ya repot dong. Kamu malah nggak bisa pakai. Nanti main kejar-kejaran.”

“Sial!” Suli kembali berlari ke arah telepon yang di depan sana. Meninggalkan Lupus yang masih asyik mengulum permen karetnya.

Dan begitu Lupus memasuki kelasnya, Budi sang ketua kelas sudah menyambutnya, “Hei, Lupus! Hebat kamu. Saya udah baca majalah kamu yang terbaru yang memuat tentang kegiatan di sekolah kita. Begitu, dong. kita harus bangga- banggain sekolah kita juga!”

 Lupus cuma nyengir dan mengambil tempat duduk paling belakang. Teman-temannya memang sudah pada tau kalau Lupus itu sering menulis di majalah Hai. Dan baru-baru ini dia memang dipaksa teman-teman dan gurunya untuk menulis tentang kegiatan amal di sekolahnya. Lupus sama sekali tak bisa menemukan sesuatu yang menarik yang bisa ditulis dari kegiatan itu, tapi karena paksaan dan rasa tak enak dari teman dan gurunya, lupus pun menuliskan. Untung hasilnya tak begitu mengecewakan.

***

Jam istirahat pertama hampir tiba, ketika terdengar ada suara ribut-ribut di luar. Lupus melongokkan kepalanya lewat jendela. Memanggil salah seorang anak yang lewat di dekat jendela kelasnya.

“Sst! Ada apa sih?” naluri kewartawanannya selalu timbul kalau mendengar ada ribut-ribut.

“Gawat tuh, ada razia rambut gondrong!” jawab anak itu terburu-buru.

“Razia rambut?” Lupus terkejut. Memang tak ada hal lain yang paling bikin dia sebel, selain razia rambut. Di mana guru-guru datang menggebrak kelas yang tadinya tentram dan damai dengan membawa gunting. Persis tekab yang menggebrak sarang perjudian. Kemudian dengan seenaknya,  beliau-beliau itu mengguntingi rambut-rambut yang panjang melewati kerah dan menutupi telinga. Padahal anak-anak sudah mengubah taktik dengan hanya memanjangkan rambut bagian depannya saja. Seperti yang sekarang lagi mode itu. Tapi tetap saja kena razia.

Lupus yang rambutnya panjang baik di depan maupun di belakang, jelas jadi sibuk sendiri. Dia buru-buru mengemasi buku-bukunya.

”Mau ke mana kamu, Lupus?” tanya Heru yang duduk di sebelahnya.

“Kabur!” jawab Lupus seenaknya, sambil matanya tetap mengawasi guru gambar yang membelakangi murid-murid.

”Kabur? Maksud kamu lewat jendela?” tanya Heru curiga.

“Iya. Apa kamu pikir saya mau minta izin dulu sama guru itu, lalu baru kabur? Begitu? Don’t be a fool, friend. Lebih baik kamu awasi guru itu, ya? Soalnya bahaya nih, ada razia rambut...,” sahut Lupus nekat melempar tasnya ke luar. Tetapi begitu dia menclok di jendela, sang guru tiba-tiba membalikkan tubuh. Matanya langsung tertuju pada figur Lupus yang bak maling lagi beroperasi. Kalau lagi terdesak, anak ini memang suka nekat.

Tak pelak lagi, Lupus langsung diseret ke depan kelas untuk diinterogasi.

“Anu, Pak, saya sakit perut yang tak tertahan- kan. Daripada kecolongan di kelas...” sahut Lupus membela diri. Tapi tampang marah guru gambar  itu tak bisa terhapus dengan alasan yang sesederhana dan tanpa pemikiran yang matang itu.

“Saya tak mau dengar alasan macam-macam. Ini jelas penghinaan berat yang Anda tujukan kepada saya. Sekarang juga, ikut saya ke kantor Kepala Sekolah!” hardiknya. Lupus tak bisa berbuat apa-apa. Dia memang mengaku salah. Tapi situasi ini justru menyelamatkannya. Pada saat yang bersamaan, dua orang guru menyerbu ke dalam kelas sambil membawa gunting.

“Semua pria yang berambut panjang, harap diam di tempat. Akan diadakan pengguntingan rambut gratis. Tinggal sebut mau model apa. Lumayan, kan daripada pergi ke salon?” sahut beliau-beliau itu mencoba melucu. Tapi bahkan Robert pun, yang doyan tertawa, tak tertawa.

Dan saat itu Lupus sudah diboyong ke kantor Kep—Sek.

***

Lupus memasuki ruangan yang hening itu. Sementara sang Kep-Sek, figur yang selalu ditakuti dan disegani murid—murid, duduk tenang sambil menekuni buku yang ada di depannya. Guru gambar yang tadi mengantar dan menyampaikan prolog serta maksud dan tujuan membawa Lupus ke kantor itu, telah ke luar ruangan. Hu. Pengaduan! maki Lupus dalam hati.

“Kamu tau kenapa kamu dibawa kemari?” sahut Pak Kep-Sek tenang.

“Anu. Pak. Saya mau minta maaf atas kesalahan saya. Sungguh mati, Pak, saya sangat menyesali tindakan saya yang di luar kontrol itu. Bapak kan tahu bahwa kadang-kadang manusia memang suka bertindak di luar kontrol. Tapi di samping itu, saya juga mau memberi tahu bahwa laporan kegiatan amal di sekolah kita tercinta ini sudah dimuat di majalah Hai, Pak,” sahut Lupus pelan.

“Oh, jadi kamu toh yang menulisnya?”

 Lupus mengangguk cepat. Wajah Kep-Sek berubah menjadi agak ramah.

“Ya... ya, saya sudah baca tadi pagi. Anak saya kan langganan majaIah... apa tadi namanya? Hai, ya, majalah Hai. Saya suka kepada murid yang bangga akan sekolahnya sendiri seperti kamu. Boleh diteruskan bakat seperti itu. Oya, siapa nama kamu tadi?”

 “Lupus.”

“Ya. Lupus. Saya sudah sering membaca tulisanmu, tapi baru kali ini ketemu orangnya. Kamu yang sering menulis laporan ilmu penge- tahuan dari sekolah-sekolah lain, kan?” Lupus agak terkejut. Apa iya dia sering nulis begituan? lni aja baru sekali-kalinya. Tapi toh ia buru-buru mengangguk sambil tersenyum hormat.

“Saya memang sudah terlalu tua,” lanjut Kep-Sek. “Sudah sangat sulit mengenali anak-anak seusiamu. Apalagi zaman sekarang ini, rata-rata wajah mereka hampir sama semua. Padahal kalau saya mudah mengenali kamu, lebih enak Iagi. Saya bisa dengan mudah menghubungi kamu kalau sewaktu-waktu kita bikin kegiatan lain yang patut diketengahkan di media kamu.”

“Tapi, Bapak kan mudah saja mengenali saya?” jawab Lupus bersemangat.

”Oya? Bagaimana caranya?” “’Lihat saja, Pak. Rambut saya unik. Tidak seperti anak lain yang dipotong pendek. lni kan bisa menjadi ciri khas yang mudah dikenali. Bahkan dari jarak jauh sekalipun .... “

Kep-Sek membetulkan letak kaca matanya. Dahinya berkerut.

“Oya-ya. Rambut kamu gondrong. Tapi itu kan melanggar peraturan. Apa kamu tak kena pemeriksaan tadi?”

“ltulah, Pak. Kalau rambut saya dipotong seperti anak lainnya, nanti Bapak malah sulit mengenali. Apalagi wajah saya begini pasaran. Bapak kenal Ridwan, Andi, atau Roni itu? Kami berempat sering dikira anak kembar. Padahal kan tidak. Saudara juga bukan. Hanya nenek mereka dengan nenek saya saja yang memang sama-sama nenek-nenek .... “

Pak Kep-Sek itu cuma menganguk-angguk. Mungkin kurang kopi dengan pembicaraan Lupus yang kacau. Tapi itu memang tak-tik Lupus. Kalau dia berhasil lolos razia kali ini, berarti paling tidak selama tiga bulan berikutnya tak akan ada razia lagi. Karena beliau-beliau juga anget-angetan aja bikin kegiatan gila—gilaan seperti ini. Lupus jelas merasa beruntung, karena dia amat segan memo-  tong pendek rambutnya. Nantinya nggak kece lagi, katanya. Soal kalau nanti ada razia lagi, itu bisa dipikirkan nanti.

“Bagaimana, Pak? Saya bisa keluar sekarang? Saya juga akan tetap berusaha mengangkat nama Sekolah kita tercinta ini, Pak. SMA Merah Putih!” sahut Lupus mantap, sambil mengulurknn tangannya (dikata layangan apa?). Pak Kep-Sek pun menyambut uluran tangan itu.

“Selamat buat Anda. Berkaryalah terus mum- pung masih muda!”

Lupus mengangguk hormat. Lalu melangkah mantap ke luar kantor Kep-Sak. Tiba-tiba dia teringat pada tasnya yang tadi dilempar ke luar jendela. Jangan-jangan masuk ke got?
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Kampoeng JAVA
Copyright © 2013. Kampoeng JAVA - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template Edit by Kampoeng JAVA
Proudly powered by Blogger