MALAM telah larut
(emangnya gula?), ketika Lupus dan Anto melintasi jalan sepi sekitar
kuburan Belanda. Udara dingin menggigit, dan bunyi- bunyi jangkrik
nyaring di kejauhan. Seperti hendak mendramatisir keadaan. Dan memang,
suasana di situ hening sekali. Bibir Lupus saja terkatup rapat, sama
sekali tak berminat memecah- kan kesunyian yang mencekam. Bukan
apa-apa, nanti jangan-jangan dia malah kaget sendiri. Sementara Anto,
temannya yang pendiam itu, tak mencoba mengakrabkan suasana. Padahal di
daerah ini, dia tuan rumahnya. Lupus kan cuma pendatang. Diajak
menginap, mumpung besok ada libur sehari. Kalau mau tahu hari libur
besar atau tanggalan merah, tanya saja pada Lupus. Dia memang paling
hafal. Jauh-jauh hari kerjaannya memang cukup ngafalin begituan. Hobi
kayanya.
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton midnight di bioskop murahan dekat pasar inpres. Nomon film lamanya Linda Blair, Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih merasa tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
“Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi, ya?” Akhirnya Lupus nggak betah diam melulu.
“Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat. Ya, di sini ini. Kalau lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih, jalan kaki, tapi nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem juga lewat sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh yang sering terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang biasa jaga malam itu—cerita bahwa dia melihat seseo- rang berjalan tanpa kepala di kuburan di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak taunya kepalanya sendiri .... “
Lupus cepat-cepat menutup telinganya. Dia keki berat. Lagi seram-seram begini malah cerita yang nggak keruan.
“Lho, kamu nggak percaya, Pus? Beneran, kok. Pak Karta orang jujur, saleh, dan hampir nggak pernah bo’ong, kecuali kalau nggak ada orang yang tahu bahwa dia bo‘ong...,” sela Anto tanpa merasa salah.
“Anto, apa kamu nggak pernah diajari bagaima- na cara melawak yang baik?” ujar Lupus geram.
“Terserah kalau kamu nggak pereaya. Saya nggak maksa. Saya juga nggak lagi melawak. Kamu jangan nuduh sembarangan dong. Itu fitnah namanya. Dan fintah itu adalah perbuatan setan. jadi kamu sama aja dengan setan .... “
“Ya, dan saya akan mencekikmu bila kamu nggak mau berhemi berkicau!”
Tapi tiba-tiba keduanya terpekik perlahan, ketika terdengar suara botol dibanting tepat di dekat mereka.
Secara refleks, keduanya berpe- gangan. Memandang sekeliling dengan hati berdebar. Dan muncullah sebuah sosok yang seram dari balik pohon kamboja. Memandang sinis ke arah mereka.
“Sst..., itukah setan yang diliat Pak Karta? Kok ada kepalanya, ya?” bisik Anto ketakutan.
“Diam kamu!”
Sosok itu mendekat. Diikuti oleh beberapa sosok tubuh lainnya. Rata-rata berwajah kasar dan seram. Anto berbisik pelan pada Lupus.
“Gawat, Pus. Itu bukan hantu. Mereka anak-anak berandal seberang kuburan sana! Mereka pasti mau bikin setori dengan kita!”
“GiIa, apa alasan mereka mengganggu kita?” sahut Lupus keras.
“Sst, jangan keras-keras. Ya, Tuhan, kamu bisa dihajarnya .... “
Dan kini wajah sosok yang pertama terlihat sudah sangat dekat di depan mata Lupus. Menatap tak berkedip dengan sorotan mata yang tajam. Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada Anto, “Kamu benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba menakut-nakuti kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut, ya ....“
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu. Maknadengan sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto ketakutan setengah mati.
“Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya? Lu mau belagak jagoan di sini? Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di depan gue!” sahut orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu mundur beberapa langkah dengan mata yang masih menatap berandalan tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah- patah, “Ma-maaf, Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat sini. Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... “
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan, tapi tenggorokannya kok ya terasa kering.
“He. lu punya duit nggak?” salah seorang temannya yang dari tadi diam, tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu Anto. Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong Anto. Tapi tangan lain menariknya keras-keras.
“Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada beberapa ribu. Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!” sahut Anto cepat. Lupus pun didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit dan mau membalas. Tapi Anto menahan- nya, “Kalem. Pus. Mereka banyakan. Nggak ada gunanya melawan .... “
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki- makian kotor, mereka pun membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto menghela napas lega.
“Enak amat mereka minta-minta uang? Emang- nya jalan nenek moyangnya?” gerutu Lupus! Tapi, tentu saja anak-anak berandalan itu tak mende- ngar. Wong mereka udah ngacrit.
“Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngom- pasin orang-orang yang lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh dari rumah saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil. Tapi memang saya nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya saban malem nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau sengaja cari gara-gara. Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka marah, habislah kita .... “
“Eeeee... emangnya saya berani?”
***
Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam di kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah. Kerjanya cuma pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara radio dari berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi tentang harga pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit, dan sejenisnya itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa?
Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca beberapa buku.
“Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam ini, saya mau ke markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di dekat pos yang kemarin kamu bilang, kan?”
Anto terkejut. “Gila. Ngapain ke sana? Mau cari penyakit? Lupakan uang kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah dipikirin terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya, mereka lebih berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus. Nggak usah balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi .... Lupakanlah!”
Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan dalam berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara seenaknya, polos, dan kadang bikin keki. Tapi kini dia menatap Anto dengan wajah serius.
“Ada hal-hal yang lebih baik kita lupakan dalam hidup ini. Apalagi pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat kita resah. Tapi kamu nggak usah cemas, To. Saya bukannya jagoan yang mau mengobrak-abrik sarang mereka. Saya tertarik untuk mengungkapkan cerita yang mungkin menarik dari remaja-remaja macam mereka. Kenapa mereka tak betah di rumah seperti kamu? Atau, bagaimana mereka memandang masa depannya .... “
Anto terdiam, menatap bingung pada Lupus. Dia memamg sudah lama berkawan dengan Lupus, tapi hingga kini, dia sering tak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Lupus sebenarnya. Dan dia benar-benar tak habis pikir ketika malamnya Lupus nekat pergi sendirian ke pos anak berandalan itu.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lupus baru pulang. Dengan wajah pucat karena mungkin semalaman tak tidur.
“Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup!” sahut Anto sambil menyerbu Lupus. Lupus cuma mencibir, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
“Lho, kok langsung semaput? Kamu nggak di apa-apain?”
“Apa hak mereka memukul saya? Saya datang secara baik-baik kok, dan dengan maksud yang baik juga!” jawab Lupus sombong. Tapi kalau kamu tau, bagaimana gemetarnya Lupus ketika datang ke markas berandalan itu, kamu pasti nggak bisa menahan nya. Untung saja bagian itu disensor.
“Memangnya mereka kenal kompromi juga?”
“Nah, itulah kesalahan kamu. Kamu terlalu cepat menuduh orang lain jelek. Tanpa berusaha membuat pendekatan lebih dahulu. Saya nggak percaya ada orang yang begitu jahatnya di dunia ini sampai tak punya perasaan sama sekali. Kadang malah dari merekalah kita menemukan pribadi yang menarik. Seperti rasa setia kawan yang begitu hebat. Sampai-sampai rela mengorbankan kebaha- giaannya sendiri. Memang rasa setia kawan mereka kadang tak pada tempatnya. Suka merugikan orang lain. Tapi itu nggak selamanya benar. Makanya saya tertarik ketika kamu cerira banyak tentang perbuatan-perbuatan mereka yang selalu merugi• kan orang lain. Saya ingin membuktikan. apa itu benar? Kalau ya, atas dasar apa? Saya pun pergi ke sana. Mengadakan pendekatan dengan mereka. Meski memang tak mudah. Saya sampai keluar banyak uang untuk membelikan mereka rokok. Korban perasaan dan korban lain-lainnya, tetapi saya toh berhasil. Saya ngaku aja sebagai orang baru di sini. Saya nggak betah di rumah karena banyak problem keluarga. Saya ingin gabung dengan mereka. Dan mereka pun menerima dengan terbuka. Pada dasamya, mereka selalu menaruh simpati pada orang-orang yang senasib dengan mereka. Mereka bahkan mau menolong saya. Nah, hebat, kan? Dari pengalaman semalam, mereka banyak cerita tentang dirinya, cara hidupnya, dan juga bagaimana mereka meman- dang masa depan. Ternyata luar biasa, Nto! Kebanyakan mereka ingin jadi ABR!. Pembela Negara. Hebat, kan? ltulah, mereka tak seharus- nya dimusuhi, malah patut dikasihi. Diberi harapan. Ini kan bagus buat bahan tulisan .... “
“Bahan tulisan? Maksud kamu, kamu pergi tadi malam itu untuk bikin tulisan di majalah kamu?”
“Kok heran? Ini kan baik umuk tulisan yang bersifat human interest. Penulisan yang menonjol- kan sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki banyak dimensi dalam hidupnya, kan menarik? Bisa menimbulkan rasa haru, simpati dari mereka- mereka yang dulunya tak pernah peduli dengan mereka. Siapa tahu setelah membaca artikel saya, anak-anak berandalan itu mau mengubah diri. Dan pandangan umum tentang mereka juga dapat berubah, sehingga yang tadinya nggak peduli, kini mencoba meraih mereka .... “
Anto terdiam. Lama. Seperti berpikir. Lalu berkara pelan, “Kadang, saya iri dengan kamu, Pus. Kamu selalu bisa berbuat seauatu dari apa-apa yang terjadi. Saya sering merasa iri. Kamu tau, saya adalah orang yang nggak pernah punya inisiatif. Apalagi untuk berbuat sesuatu bagi orang-orang yang paling saya benci. Saya yang sekian lama tinggal di lingkungan mereka, tak pemah punya pikiran seperti kamu. Saya jadi merasa sebagai orang yang tak berarti .... “
Kini giliran Lupus yang kaget dan terdiam. Agak lama. Sampai Anto mengira dia tertidur.
Tapi akhirnya terdengar suara Lupus, pelan, “Jangan punya pikiran begitu, Nto. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan sifat yang berlainan. Saya justru yang ingin seperti kamu. Tanpa pernah merasa peduli atau terusik kalau ada kejadian apa pun. Yang bisa tidur enak, walau sejuta masalah hadir di benakmu. Sungguh! Saya ingin seperti kamu. Yang tak pernah merasa terpanggil, merasa bersalah, merasa tergoda kalau ada sesuatu yang terasa ganjil. Yang selalu menjalani hidup ini dengan tenang. Sedang saya? Mana bisa saya rertidur begitu mudah, saat sejuta masalah hadir di benak saya seperti ini .... “
Tapi menit berikutnya, Lupus sudah tertidur dengan nyenyaknya. Pakai ngorok segala. Semen- tara Anto tetap tak bisa menebak jalan pikiran makhluk Tuhan yang aneh ini ....
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton midnight di bioskop murahan dekat pasar inpres. Nomon film lamanya Linda Blair, Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih merasa tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
“Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi, ya?” Akhirnya Lupus nggak betah diam melulu.
“Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat. Ya, di sini ini. Kalau lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih, jalan kaki, tapi nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem juga lewat sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh yang sering terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang biasa jaga malam itu—cerita bahwa dia melihat seseo- rang berjalan tanpa kepala di kuburan di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak taunya kepalanya sendiri .... “
Lupus cepat-cepat menutup telinganya. Dia keki berat. Lagi seram-seram begini malah cerita yang nggak keruan.
“Lho, kamu nggak percaya, Pus? Beneran, kok. Pak Karta orang jujur, saleh, dan hampir nggak pernah bo’ong, kecuali kalau nggak ada orang yang tahu bahwa dia bo‘ong...,” sela Anto tanpa merasa salah.
“Anto, apa kamu nggak pernah diajari bagaima- na cara melawak yang baik?” ujar Lupus geram.
“Terserah kalau kamu nggak pereaya. Saya nggak maksa. Saya juga nggak lagi melawak. Kamu jangan nuduh sembarangan dong. Itu fitnah namanya. Dan fintah itu adalah perbuatan setan. jadi kamu sama aja dengan setan .... “
“Ya, dan saya akan mencekikmu bila kamu nggak mau berhemi berkicau!”
Tapi tiba-tiba keduanya terpekik perlahan, ketika terdengar suara botol dibanting tepat di dekat mereka.
Secara refleks, keduanya berpe- gangan. Memandang sekeliling dengan hati berdebar. Dan muncullah sebuah sosok yang seram dari balik pohon kamboja. Memandang sinis ke arah mereka.
“Sst..., itukah setan yang diliat Pak Karta? Kok ada kepalanya, ya?” bisik Anto ketakutan.
“Diam kamu!”
Sosok itu mendekat. Diikuti oleh beberapa sosok tubuh lainnya. Rata-rata berwajah kasar dan seram. Anto berbisik pelan pada Lupus.
“Gawat, Pus. Itu bukan hantu. Mereka anak-anak berandal seberang kuburan sana! Mereka pasti mau bikin setori dengan kita!”
“GiIa, apa alasan mereka mengganggu kita?” sahut Lupus keras.
“Sst, jangan keras-keras. Ya, Tuhan, kamu bisa dihajarnya .... “
Dan kini wajah sosok yang pertama terlihat sudah sangat dekat di depan mata Lupus. Menatap tak berkedip dengan sorotan mata yang tajam. Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada Anto, “Kamu benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba menakut-nakuti kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut, ya ....“
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu. Maknadengan sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto ketakutan setengah mati.
“Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya? Lu mau belagak jagoan di sini? Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di depan gue!” sahut orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu mundur beberapa langkah dengan mata yang masih menatap berandalan tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah- patah, “Ma-maaf, Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat sini. Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... “
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan, tapi tenggorokannya kok ya terasa kering.
“He. lu punya duit nggak?” salah seorang temannya yang dari tadi diam, tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu Anto. Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong Anto. Tapi tangan lain menariknya keras-keras.
“Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada beberapa ribu. Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!” sahut Anto cepat. Lupus pun didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit dan mau membalas. Tapi Anto menahan- nya, “Kalem. Pus. Mereka banyakan. Nggak ada gunanya melawan .... “
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki- makian kotor, mereka pun membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto menghela napas lega.
“Enak amat mereka minta-minta uang? Emang- nya jalan nenek moyangnya?” gerutu Lupus! Tapi, tentu saja anak-anak berandalan itu tak mende- ngar. Wong mereka udah ngacrit.
“Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngom- pasin orang-orang yang lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh dari rumah saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil. Tapi memang saya nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya saban malem nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau sengaja cari gara-gara. Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka marah, habislah kita .... “
“Eeeee... emangnya saya berani?”
***
Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam di kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah. Kerjanya cuma pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara radio dari berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi tentang harga pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit, dan sejenisnya itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa?
Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca beberapa buku.
“Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam ini, saya mau ke markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di dekat pos yang kemarin kamu bilang, kan?”
Anto terkejut. “Gila. Ngapain ke sana? Mau cari penyakit? Lupakan uang kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah dipikirin terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya, mereka lebih berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus. Nggak usah balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi .... Lupakanlah!”
Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan dalam berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara seenaknya, polos, dan kadang bikin keki. Tapi kini dia menatap Anto dengan wajah serius.
“Ada hal-hal yang lebih baik kita lupakan dalam hidup ini. Apalagi pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat kita resah. Tapi kamu nggak usah cemas, To. Saya bukannya jagoan yang mau mengobrak-abrik sarang mereka. Saya tertarik untuk mengungkapkan cerita yang mungkin menarik dari remaja-remaja macam mereka. Kenapa mereka tak betah di rumah seperti kamu? Atau, bagaimana mereka memandang masa depannya .... “
Anto terdiam, menatap bingung pada Lupus. Dia memamg sudah lama berkawan dengan Lupus, tapi hingga kini, dia sering tak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Lupus sebenarnya. Dan dia benar-benar tak habis pikir ketika malamnya Lupus nekat pergi sendirian ke pos anak berandalan itu.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lupus baru pulang. Dengan wajah pucat karena mungkin semalaman tak tidur.
“Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup!” sahut Anto sambil menyerbu Lupus. Lupus cuma mencibir, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
“Lho, kok langsung semaput? Kamu nggak di apa-apain?”
“Apa hak mereka memukul saya? Saya datang secara baik-baik kok, dan dengan maksud yang baik juga!” jawab Lupus sombong. Tapi kalau kamu tau, bagaimana gemetarnya Lupus ketika datang ke markas berandalan itu, kamu pasti nggak bisa menahan nya. Untung saja bagian itu disensor.
“Memangnya mereka kenal kompromi juga?”
“Nah, itulah kesalahan kamu. Kamu terlalu cepat menuduh orang lain jelek. Tanpa berusaha membuat pendekatan lebih dahulu. Saya nggak percaya ada orang yang begitu jahatnya di dunia ini sampai tak punya perasaan sama sekali. Kadang malah dari merekalah kita menemukan pribadi yang menarik. Seperti rasa setia kawan yang begitu hebat. Sampai-sampai rela mengorbankan kebaha- giaannya sendiri. Memang rasa setia kawan mereka kadang tak pada tempatnya. Suka merugikan orang lain. Tapi itu nggak selamanya benar. Makanya saya tertarik ketika kamu cerira banyak tentang perbuatan-perbuatan mereka yang selalu merugi• kan orang lain. Saya ingin membuktikan. apa itu benar? Kalau ya, atas dasar apa? Saya pun pergi ke sana. Mengadakan pendekatan dengan mereka. Meski memang tak mudah. Saya sampai keluar banyak uang untuk membelikan mereka rokok. Korban perasaan dan korban lain-lainnya, tetapi saya toh berhasil. Saya ngaku aja sebagai orang baru di sini. Saya nggak betah di rumah karena banyak problem keluarga. Saya ingin gabung dengan mereka. Dan mereka pun menerima dengan terbuka. Pada dasamya, mereka selalu menaruh simpati pada orang-orang yang senasib dengan mereka. Mereka bahkan mau menolong saya. Nah, hebat, kan? Dari pengalaman semalam, mereka banyak cerita tentang dirinya, cara hidupnya, dan juga bagaimana mereka meman- dang masa depan. Ternyata luar biasa, Nto! Kebanyakan mereka ingin jadi ABR!. Pembela Negara. Hebat, kan? ltulah, mereka tak seharus- nya dimusuhi, malah patut dikasihi. Diberi harapan. Ini kan bagus buat bahan tulisan .... “
“Bahan tulisan? Maksud kamu, kamu pergi tadi malam itu untuk bikin tulisan di majalah kamu?”
“Kok heran? Ini kan baik umuk tulisan yang bersifat human interest. Penulisan yang menonjol- kan sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki banyak dimensi dalam hidupnya, kan menarik? Bisa menimbulkan rasa haru, simpati dari mereka- mereka yang dulunya tak pernah peduli dengan mereka. Siapa tahu setelah membaca artikel saya, anak-anak berandalan itu mau mengubah diri. Dan pandangan umum tentang mereka juga dapat berubah, sehingga yang tadinya nggak peduli, kini mencoba meraih mereka .... “
Anto terdiam. Lama. Seperti berpikir. Lalu berkara pelan, “Kadang, saya iri dengan kamu, Pus. Kamu selalu bisa berbuat seauatu dari apa-apa yang terjadi. Saya sering merasa iri. Kamu tau, saya adalah orang yang nggak pernah punya inisiatif. Apalagi untuk berbuat sesuatu bagi orang-orang yang paling saya benci. Saya yang sekian lama tinggal di lingkungan mereka, tak pemah punya pikiran seperti kamu. Saya jadi merasa sebagai orang yang tak berarti .... “
Kini giliran Lupus yang kaget dan terdiam. Agak lama. Sampai Anto mengira dia tertidur.
Tapi akhirnya terdengar suara Lupus, pelan, “Jangan punya pikiran begitu, Nto. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan sifat yang berlainan. Saya justru yang ingin seperti kamu. Tanpa pernah merasa peduli atau terusik kalau ada kejadian apa pun. Yang bisa tidur enak, walau sejuta masalah hadir di benakmu. Sungguh! Saya ingin seperti kamu. Yang tak pernah merasa terpanggil, merasa bersalah, merasa tergoda kalau ada sesuatu yang terasa ganjil. Yang selalu menjalani hidup ini dengan tenang. Sedang saya? Mana bisa saya rertidur begitu mudah, saat sejuta masalah hadir di benak saya seperti ini .... “
Tapi menit berikutnya, Lupus sudah tertidur dengan nyenyaknya. Pakai ngorok segala. Semen- tara Anto tetap tak bisa menebak jalan pikiran makhluk Tuhan yang aneh ini ....
0 komentar:
Posting Komentar