Home » » LUPUS KECIL "03. Prestise Jazz"

LUPUS KECIL "03. Prestise Jazz"

Ditulis Oleh Unknown on Senin, 08 April 2013 | 00.07

SUDAH tau, kan, kalau Lupus itu di samping anak kelas I SMA Merah Putih, juga jadi wartawan freelance majalah remaja Hai? Nah, itulah, makanva sekarang ini dia lagi suntuk banget ngedengerin suguhan musik jazz Open Air untuk remaja. Mana duduknya pas dekat loud-speaker berkekuatan tinggi. Suara-suara cempreng yang keluar dari situ Iangsung masuk telinga Lupus tanpa difilter Iebih dahulu.

Lupus berada di antara para remaja yang kebanyakan SMA tanpa bisa keluar dari situ. Dan pada saat begini, dia benar•benar keder dengan profesi wartawan yang disandangnya. Karena dari tempatnya duduk, dia tak bisa Ieluasa bergerak mengambil gambar-gambar yang baik untuk pelengkap berita yang akan dia tulis. Dan rasanya rada sungkan juga umuk meminta jalan pada remaja-remaja di depannya, untuk kemudian mengambil posisi memotret di dekat panggung.

Masalahnya, tadi dia sempat keki ketika baru datang, dan hendak naik ke panggung umuk memotret close-up sang penyanyi, seorang petugas  menghardiknya keras, “Hei, Anak kecil! Ngapain naik-naik ke situ? Nakal, ya. Ayo turun!!”

Lupus keki banget dibilang anak kecil. Wah, tu orang nggak tau kalau saya wartawan! gerutu lupus. Dan dia menjadi keki kuadrat ketika seorang pemuda yang mengenakan tanda pengenal panitia menyuruhnya menjauh dari tempat artis- artis jazz. Dikira mau minta tanda tangan apa?

Makanya, sekarang ini dia lebih suka duduk dengan manis di rumpul seperti remaja Iainnya. Tanpa bisa menikmati suguhan musik yang digelar. Dia merasa bodoh sekali. Wartawan kok gitu? Dan dia bingung. apa yang harus dia tulis dalam artikelnva nanti. Lupus semula agak menolak juga ketika Mas Wendo—sang pemred majalah Hai—menyuruhnya meliput berita jazz Open Air ini. Masalahnya dia nggak ngerti dan kurang suka jazz. Tapi daripada menolak, ya coba-coba aja. deh!

Dan sekarang dia benar-benar suntuk. Bukan- nya nyesel nonton ginian, tapi nggak nyangka bakal ngerusak telinga begini. Tiba-tiba seorang cewek yang duduk di sebelah mengeluh. Saat itu musik Iagi break, jadi suasana kembali tenang. Banyak penonton lain yang duduk dekat loud- speaker seperti Lupus, bernapas lega sambil meyakinkan bahwa kupingnya belum budek.

“Aduh, saya pingin pipis. Gimana ya, cara keluar dari sini?” kata cewek itu. Lupus yang lagi asyik bengong nyeletuk, “Pipis di sini aia. Banyak rumput kok .... “

“Ogah ah. Takut nge-top!” cewek itu nyengir.

“Takut nge-top apa takut dilihat saya?” tantang Lupus.

“Apa iya kamu mau Iihat? Kalau bener saya bela-belain nih!” jawab cewek itu Iagi. Gantian Lupus yang nyengir.

Sementara cowok yang di sebelah Lupus ikutan ngomong juga,

”Eh, ngomong-ngomong dari tadi Iagu yang dimainin tuh ganti-ganti atau yang itu-itu terus?”

Lupus kaget juga ditanya begitu. Untung cowok itu nggak tau kalau Lupus itu wartawan musik.

“Nggak tau. Lho, kamu tadi sama temen-temen kamu pada goyang-goyang kepala. Dikirain tau Iagunya...?“ Lupus balik bertanya.

“Tau? Boro-boro, suka aja nggak!!”

”Ha? jadi ngapain dong kamu manggut-manggut kaya tadi begitu?”

“Ya... ikut-ikutan yang lain aja. Kita berani taruhan kalau mereka juga nggak ngerti musik apa yang dimainin barusan. Mereka cuma biar kelihatan aksi aja. Lucunya, ada yang sok bawa pacarnya ke sini. Bela-belain bayar uang masuk cuma supaya pacamya mengira dia punya selera musik yang tinggi. Tapi itu udah wajar kok. Maklum deh, namanya aja remaja .... “

“Iya, betul tuh. Saya juga nyadarin kok. Dateng ke sini cuma ikut-ikutan temen aja,” temen sebelahnya mendukung.

Lupus tambah mikir. Jadi, apa yang mereka cari dengan nonton beginian? Dikirain dia doang yang  nggak ngerti musik yang disuguhin. Nggak taunya semua sama saja! Pantesan tepuk tangan penonton seperti diatur. Kalau ada seorang yang tepuk tangan, yang Iainnya pada ikutan. Lucunya ada yang menoleh dulu ke teman sebelahnya, baru ikutan tepuk tangan.

“Kalau yang disuguhin jazz ringan kaya lagu-Iagunya Whitney Houston atau Michael Frank sih boleh-boleh aja. Saya suka. Tapi ini sih, yang main musik asyik sendiri. Dengan improvisa- si-improvisasi. Sedang yang nonton malah komat- kamit berdoa supaya lagunva cepet habis. berharap supaya Iagu berikutnya Iebih enak didengar. Syukur-syukur kalau kenal lagunya. Jadi kayanya para pemusik itu bermain untuk dirinya sendiri .... “ cewek Iain ikut komentar.

Sementara musik kembali mengalun. Dan para penonton memulai lagi sandiwaranva. Manggut- manggut, dan menggoyangkan kakinya. Lupus jadi tertarik dengan pembicaraan remaja-remaja yang di sebelahnya tadi. Mereka seperti mewakili seluruh remaja yang berjubel membanjiri pagelar- an siang bolong itu. Lupus seperti menangkap sesuatu. Sesuatu yang bisa menjadi bahan tulisannya. Sesuatu yang mungkin tak terpikirkan Oleh wartawan lain. Mungkin hasilnya tak begitu Bagus, tetapi lupus akan mencoba.

Beberapa minggu kemudian, majalah-majaiah Ramai memberitakan pagelaran musik tersebut. Majalah hai juga memuat. Lupus yang menulis. Tapinya dia kini malah lagi asyik becanda dengan Mas Aries yang asyik melukis. Suasana di kantor redaksi Hai ini memang santai dan menyenangkan. Itulah sebabnya, kenapa Lupus betah di situ. Hampir saban pulang sekolah, kala teman- temannya pada main ding-dong di dekat pasar swalayan, Lupus Iari ke kantor Hai. Orang-orang yang kumpul di sini memang merupakan gabungan dari beberapa karakter yang unik. Ada yang doyan ngecap, ada yang doyan tidur di kolong meja, ada yang pendiam, ada yang hobinya godain cewek Iewat, ada yang doyan nyanyi, ketawa, ngeledek, tau yang kerjanya nggambar meIuIu. Seperti Aries ini. Ngakunya dari rumah mau kerja. Sudah dapet restu dari ibu-bapaknya. Ee, nggak taunya sampai di kantor kerjanva ngggambaaaar melulu. Ada iuga Jipi—perjaka yang hobinva nempelin-nempelin dan gunting-guntingin kertas. Bakat ini memang kentara ketika dia duduk di TK. Nilai pelajaran seni melipat kertas-nya dapet angka delapan. Tapi yang kurang menguntungkan adalah kulitnya yang rada kelarn dibanding rekan-rekannya. Sampai pernah ada teka-teki yang paling nge-top di kantor ini dan hampir semua orang di situ bisa menjawabnya: ’Kenapa kaus kaki jipi berwarna coklat? jawabnya singkat: ‘Karena kelunturan kulit kakinya .... “

Tapi Jipi bukannya sakit hati, malah bangga.

“Hei, kok pada ketawa-ketawa? Ajak—ajak dong .... “ Mas Wendo ttba-tiba muncuI. Dia baru datang dari seminar. Nggak jelas seminar apa. Kayanya sih seminar tuyul.

“Lho, ini Iagi ngetawain kamu kok. Mas,” jawab Mas Aries cuwek.

Wendo, yang nggak siap bakalan langsung di-kick begitu, langsung ngajak Lupus ngomong. Ngobrol sama Lupus memang aman. Dia jarang nge-kick orang, kecuali kalo terpaksa.

“Hei, Lupus. Tulisan kamu tentang jazz kemarin itu bagus Iho! Jauh berbeda dengan yang ditampilkan majalah-majalah Iain. Kamu tak bicara soal kaidah-kaidah musik jazz, kamu tak bicara soal teknik bermain mereka, soal struktur harmoni irama mereka, soaI apa yang mereka mainkan itu fusion, ragtime, blues, atau funky. Kamu mening- galkan itu semua. Tapi yang kamu ketengahkan benar-benar dari kaca mata remaja. Dan itu bagus. Itu yang membuat tulisanmu Iebih mudah dipahami. Tidak berkesan menggurui. Dan remaja seusia kamu memang Iebih suka baca artikel yang kamu tulis itu, tanpa bingung—bingung memikir- kan istilah-istilah aneh vang diketengahkan oleh kebanyakan media. Kamu bisa merasakan emosi yang begitu karena kamu terjun Iangsung sebagai remaja. Remaja yang mengamati musik jazz. Teruskan, Lupus .... “

Lupus kaget juga. Nggak nyangka bakal dipuji begitu banyak. Karena dia tau, Mas Wendo jarang memuji orang. jadi kalau dia memuji berarti dia memang benar-benar menyukainya.

Kamu mungkin heran, ya, apa yang ditulis Lupus dalam artikelnya. Singkat saja. Dia cuma merangkum pendapatnya dan pendapat remaja- remaia yang ikutan nonton waktu itu. Dia tidak mengritik musik yang ditampilkan, tapi justru mencela panitia yang terlalu memaksakan remaja- remaja untuk menyukai musik yang bukan gejolak jiwa mereka. Dan anehnya, kok para remaia yang dicekoki ya mau saja. Itu yang ditulis Lupus. Tapi terus terang, dia sendiri pada awalnya tak yakin bahwa tulisannya itu bagus. Bakal dapat pujian. Bayangkan saja, jika seorang yang sama sekali tak tau musik jazz disuruh menulis tentang jazz. Apa yang bisa ditulis?

Tapi Lupus cukup pintar untuk memetik sesuatu yang berharga dari pengalamannya. Bahwa sesuatu yang kelihatan remeh, yang kadang tak terlihat di mata orang, bisa menjadi sangat menarik. Tinggal kepekaan kita untuk menangkap ’sesuatu’ itu. Dan ini yang menjadi modal Lupus untuk tetap menulis. Tulisannya memang tak akan mempeng- aruhi apa-apa. tetapi bisa merupakan sumbangan kepada remaja pembacanya untuk membuka cakrawala pemikiran mereka lebih luas lagi.

Telepon berdering. Lupus dipanggil. Ada orang yang ingin bicara dengannya. Lupus pun menerima.

“Halo, kami dari panitia jazz Open Air kemarin. Terima kasih untuk artikel yang Anda buat. Itu lebih berharga bagi kami, daripada apa yang kebanyakan orang ketengahkan di majalah lain, untuk koreksi diri. Anda benar, kita tak bisa memaksakan selera remaja. Lain kali kita akan adakan acara serupa, tetapi lebih disesuaikan  dengan selera remaja. Anda bisa kasih pandangan? Oya, bulan depan ada acara jazz lagi di TIM. Anda mau datang? Kalau mnu, akan kami kirim undangannya .... ”

Lupus terdiam. Nonton jazz lagi? Oh. God, kali ini—apalagi yang bisa saya tulis?
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Kampoeng JAVA
Copyright © 2013. Kampoeng JAVA - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template Edit by Kampoeng JAVA
Proudly powered by Blogger