Home » » LUPUS KECIL "02. Kencan Pertama"

LUPUS KECIL "02. Kencan Pertama"

Ditulis Oleh Unknown on Senin, 08 April 2013 | 00.06

“Kalian liat Lupus?” tanya Poppi pada Ita dan  Yuni yang lagi asyik nggosip di ujung sekolah.   kelas-kelas sudah rada sepi, pelajaran baru saja  berakhir beberapa menit yang Ialu. Tapi beberapa  anak masih terlihat nongkrong di sekolah. Miasih  doyan ngumpul. Heran—padahal besok pasri  ketemu lagi.

“Nggak—“ jawab Ita singkat.

“Ke mana sih anak itu? Tadi masuk, kan?”

Poppi jelalatan memandang pada sekelompok  anak yang barjalan pulang beriringan. 

“Tadi kan waktu keluar main kedua dia  dipanggil Pak Kusni, mungkin masih di sana.   Ngapain sih nyari dia?”

Poppi cuma tersenyum sambil mengedipkan  matanya. Lalu berlari ke ruang kesenian. Betul  juga, anak itu Iagi asyik ngobrol sama Pak Kusni.   Pasti soal musik arau urusan kesenian Iainnya. 

“Selamat siang, Pak. Maap, mengganggu  sebentar. Lagi asyik, ya ?Saya mau pinjam Lupus  sebentar bo|eh?” sapa Poppi ramah. Pak Kusni  mengangguk, Lupus pun ditarik ke luar. 

“Ada apa, Pop?”

“Saya cuma mau ngasih selamat. Saya sudah  baca cerita kamu yang menang sayembara itu.   Hayo, kamu nggak bisa mengelak Iagi, katanya  mau traktir!”

Lupus nyengir sambil mengacak-acak rambutnya.

“Eh, kamu tau juga, ya? Boleh deh kalau kamu  mau, asal jangan yang mahal-mahal.”

“Sekarang?”

‘”Terserah. Saya selalu punya kok waktu untuk  cewek cakep macam kamu,” goda Lupus. 

“Nggak usah ngerayu. Tapi jangan siang ini,  ya?”

“Apanya? Ngerayunya?”

“Bukan. Itu, traktirnya. Siang ini saya udah  dijemput. Mau Iangsung kursus Inggris. Gimana  kaIau... eh, gini aja. Gimana kalau kita nonton aja?   Mau?”

“Di tempat gelap-gelapan? Mau dong. Nonton  apaan?”

“Apa aja. Di bioskop murahan dekat pasar situ.   Kira nonton yang sore aja. jam limaan, soalnya  besok kan sekolah. Tapi pulangnya beli bakso,  ya?”

“Boleh. Terus berangkatnya gimana? Saya  jemput kamu atau kamu jemput sa...”

”Gombal, kamu jemput saya dong. Gitu aja  deh, saya udah ditunggu sopir nih. Sampai nanti,  ya?”

Poppi berlari ke pintu gerbang. Lupus  tersenyum waktu dia membalik dan melambaikan  tangannya.

  ***

 Jam lima kurang seperempat. Lupus belum juga  kelihatan batang hidungnya. Keterlaluan. Apa dia  tak tau kalau saya udah rapi begini sejak setengah  jam yang Ialu? pikir Poppi kesal. Memang benar,  pulang dari les lnggris tadi, dia tak biasanya  langsung mandi. lengkap dengan gosok gigi dan cuci rambut. Lalu setengah jam duduk di depan kaca. Sibuk dengan segala macam atributnya.   Madonna juga kalah menor. Setelah selesai, dia  berputar-putar di depan kaca. Ke kiri ke kanan.   Persis anak TK Iagi karnaval.

Tapi sekarang, hampir setengah jam dia duduk  di teras. Membolak-balik majalah dengan kesal.   Poppi tau, Lupus doyan ngaret. Dalam artian suka  datang terlarnbat dan suka makan permen karet.   Tetapi Poppi sama sekali nggak bisa menerima  kalau pada saat bersejarah seperti ini, dia masih  mati-matian mempertahankan kebiasaan ngaret- nya. Boleh dibilang ini kencan pertama mereka,  kalau memang jodoh. Soalnya Poppi sendiri  sebetuInya sudah mulai tertarik ketika baru masuk  SMA, enam bulan yang Ialu.

Dia masih ingat, saat itu dia langsung ditunjuk  jadi ketua kelas. Dan dia pun mulai memerintah- kan teman-teman lain untuk membawa segala  macam keperluan kelas. Dari sapu. kalender,  hiasan dinding, ember, lap, keset, pokoknya  macem-macem deh. Soalnya saat itu juga masih  dalam masa ‘perkenalan sekolah’. Lupus yang  datang terlambat iuga kebagian dapat tugas  membawa bulu ayam.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, anak-anak  sudah ngumpul di sekolah. Hari kedua itu akan  diadakan Iomba kebersihan kelas. Maka mulailah  Poppi dengan lagak bak panglima perang meme- riksa bawaan anak buahnya. Ketika sampai pada  bangku Lupus, dia sedikit heran karena anak itu  kayanya cuma bawa buku satu. Nggak bawa tas  atau bawaan lainnya.

“Hei, mana bulu ayamnya?” “Hm? Oya..., tunggu sebentar. Mudah-mudahan nggak jatuh di jalan!” sahut Lupus  sambil membolak-balik Iembaran bukunya yang  kucel. Lalu dia pun mengambil sehelai buIu ayam  yang terselip di situ. “Ini dia. Untung nggak jatuh.   Satu cukup, kan? Untuk apa sih? Kilik kuping,  ya?” Ianjutnya kalem. Poppi hanya melotot  padanva, diiringi tawa teman-teman vang Iain.   Tapi Lupus memang tak salah. Dia benar-benar  nggak tau kalau yang Poppi maksudkan itu bukan  sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng. 

Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu.   Dan entah kenapa, dia jadi suka membayangkan  Lupus. Anak itu polos, jarang lho bisa ketemu  cowok polos begitu di Jakarta ini.

“Hei, Perawan!” teriakan keras dari jalanan  mengagetkan Poppi dari lamunannya. Tanpa dia  sadari, sekelompok anak muda tengah ramai  menertawakannya dari beIik pagar. Poppi lang- sung melirik ke jam tangannya. Sudah Iewat  magrib. Dia pun dengan cepat masuk ke dalam.   langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate  Lupus seratus kali di buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia merasa matanya mulai basah ....

***

Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar  lagi. Pasti Iagu lama yang bakal keluar dari mulut  Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat,  Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit  hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama  kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji  begini, bagaimana untuk seterusnya? 

Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya,  Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus  dengan sikap yang biasa langsung menuju  bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang  panjang untuk mima salinan pe-er.

Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.

Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.

“Kamu mau apa?” sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus. Lupus kaget dan menoleh.

“Saya...”

“Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?”

“BeIum. Saya justru Iagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong...” sahut. Lupus sedih.

Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.

“Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... ”

“Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?” bantah Poppi ketus. “Alasan apa Iagi yang mau kamu katakan sekarang?”

“Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... ”

 “Ini Iebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab!” teriak Poppi. “Kamu egois! Pengecut!”

Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stop-watch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.

“Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam!” suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu. ”Saya...”

”Ya, kenapa?” desak Poppi tak sabar.

“Saya nggak tau rumah kamu .... “ suara Lupus pelan sekali.

“Apa?” Poppi terbelalak.

“Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjem- putmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji...” suara Lupus makin pelan.

Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.

***



“Lupus!” panggil Poppi pelan, ketika Lupus memasuki kelas keesokan harinya. Lupus Iangsung menoleh dan menghampiri Poppi.

“Ada apa?”

“Hus, jangan keras-keras! Anak nakal, nanti sore saya tunggu kamu lagi jam lima. Ini alamat saya, jangan sampai hilang, ya?”

Poppi menyerahkan secarik kertas, Ialu seperti tak terrjadi apa-apa dia berjalan meninggalkan Lupus.

“Eh, tunggu!” tahan Lupus.

“Ada apa Iagi?” Poppi celingukan takut kepergok temannya.

“Ini, saya juga mau ngasih alamat. jemputlah saya kalau kamu kelamaan menunggu .... “

Poppi melotot.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Kampoeng JAVA
Copyright © 2013. Kampoeng JAVA - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template Edit by Kampoeng JAVA
Proudly powered by Blogger