“Nggak—“ jawab Ita singkat.
“Ke mana sih anak itu? Tadi masuk, kan?”
Poppi jelalatan memandang pada sekelompok anak yang barjalan pulang beriringan.
“Tadi kan waktu keluar main kedua dia dipanggil Pak Kusni, mungkin masih di sana. Ngapain sih nyari dia?”
Poppi cuma tersenyum sambil mengedipkan matanya. Lalu berlari ke ruang kesenian. Betul juga, anak itu Iagi asyik ngobrol sama Pak Kusni. Pasti soal musik arau urusan kesenian Iainnya.
“Selamat siang, Pak. Maap, mengganggu sebentar. Lagi asyik, ya ?Saya mau pinjam Lupus sebentar bo|eh?” sapa Poppi ramah. Pak Kusni mengangguk, Lupus pun ditarik ke luar.
“Ada apa, Pop?”
“Saya cuma mau ngasih selamat. Saya sudah baca cerita kamu yang menang sayembara itu. Hayo, kamu nggak bisa mengelak Iagi, katanya mau traktir!”
Lupus nyengir sambil mengacak-acak rambutnya.
“Eh, kamu tau juga, ya? Boleh deh kalau kamu mau, asal jangan yang mahal-mahal.”
“Sekarang?”
‘”Terserah. Saya selalu punya kok waktu untuk cewek cakep macam kamu,” goda Lupus.
“Nggak usah ngerayu. Tapi jangan siang ini, ya?”
“Apanya? Ngerayunya?”
“Bukan. Itu, traktirnya. Siang ini saya udah dijemput. Mau Iangsung kursus Inggris. Gimana kaIau... eh, gini aja. Gimana kalau kita nonton aja? Mau?”
“Di tempat gelap-gelapan? Mau dong. Nonton apaan?”
“Apa aja. Di bioskop murahan dekat pasar situ. Kira nonton yang sore aja. jam limaan, soalnya besok kan sekolah. Tapi pulangnya beli bakso, ya?”
“Boleh. Terus berangkatnya gimana? Saya jemput kamu atau kamu jemput sa...”
”Gombal, kamu jemput saya dong. Gitu aja deh, saya udah ditunggu sopir nih. Sampai nanti, ya?”
Poppi berlari ke pintu gerbang. Lupus tersenyum waktu dia membalik dan melambaikan tangannya.
***
Jam lima kurang seperempat. Lupus belum juga kelihatan batang hidungnya. Keterlaluan. Apa dia tak tau kalau saya udah rapi begini sejak setengah jam yang Ialu? pikir Poppi kesal. Memang benar, pulang dari les lnggris tadi, dia tak biasanya langsung mandi. lengkap dengan gosok gigi dan cuci rambut. Lalu setengah jam duduk di depan kaca. Sibuk dengan segala macam atributnya. Madonna juga kalah menor. Setelah selesai, dia berputar-putar di depan kaca. Ke kiri ke kanan. Persis anak TK Iagi karnaval.
Tapi sekarang, hampir setengah jam dia duduk di teras. Membolak-balik majalah dengan kesal. Poppi tau, Lupus doyan ngaret. Dalam artian suka datang terlarnbat dan suka makan permen karet. Tetapi Poppi sama sekali nggak bisa menerima kalau pada saat bersejarah seperti ini, dia masih mati-matian mempertahankan kebiasaan ngaret- nya. Boleh dibilang ini kencan pertama mereka, kalau memang jodoh. Soalnya Poppi sendiri sebetuInya sudah mulai tertarik ketika baru masuk SMA, enam bulan yang Ialu.
Dia masih ingat, saat itu dia langsung ditunjuk jadi ketua kelas. Dan dia pun mulai memerintah- kan teman-teman lain untuk membawa segala macam keperluan kelas. Dari sapu. kalender, hiasan dinding, ember, lap, keset, pokoknya macem-macem deh. Soalnya saat itu juga masih dalam masa ‘perkenalan sekolah’. Lupus yang datang terlambat iuga kebagian dapat tugas membawa bulu ayam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, anak-anak sudah ngumpul di sekolah. Hari kedua itu akan diadakan Iomba kebersihan kelas. Maka mulailah Poppi dengan lagak bak panglima perang meme- riksa bawaan anak buahnya. Ketika sampai pada bangku Lupus, dia sedikit heran karena anak itu kayanya cuma bawa buku satu. Nggak bawa tas atau bawaan lainnya.
“Hei, mana bulu ayamnya?” “Hm? Oya..., tunggu sebentar. Mudah-mudahan nggak jatuh di jalan!” sahut Lupus sambil membolak-balik Iembaran bukunya yang kucel. Lalu dia pun mengambil sehelai buIu ayam yang terselip di situ. “Ini dia. Untung nggak jatuh. Satu cukup, kan? Untuk apa sih? Kilik kuping, ya?” Ianjutnya kalem. Poppi hanya melotot padanva, diiringi tawa teman-teman vang Iain. Tapi Lupus memang tak salah. Dia benar-benar nggak tau kalau yang Poppi maksudkan itu bukan sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng.
Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu. Dan entah kenapa, dia jadi suka membayangkan Lupus. Anak itu polos, jarang lho bisa ketemu cowok polos begitu di Jakarta ini.
“Hei, Perawan!” teriakan keras dari jalanan mengagetkan Poppi dari lamunannya. Tanpa dia sadari, sekelompok anak muda tengah ramai menertawakannya dari beIik pagar. Poppi lang- sung melirik ke jam tangannya. Sudah Iewat magrib. Dia pun dengan cepat masuk ke dalam. langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate Lupus seratus kali di buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia merasa matanya mulai basah ....
***
Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti Iagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?
Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk mima salinan pe-er.
Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.
Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.
“Kamu mau apa?” sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus. Lupus kaget dan menoleh.
“Saya...”
“Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?”
“BeIum. Saya justru Iagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong...” sahut. Lupus sedih.
Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.
“Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... ”
“Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?” bantah Poppi ketus. “Alasan apa Iagi yang mau kamu katakan sekarang?”
“Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... ”
“Ini Iebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab!” teriak Poppi. “Kamu egois! Pengecut!”
Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stop-watch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.
“Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam!” suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu. ”Saya...”
”Ya, kenapa?” desak Poppi tak sabar.
“Saya nggak tau rumah kamu .... “ suara Lupus pelan sekali.
“Apa?” Poppi terbelalak.
“Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjem- putmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji...” suara Lupus makin pelan.
Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.
***
“Lupus!” panggil Poppi pelan, ketika Lupus memasuki kelas keesokan harinya. Lupus Iangsung menoleh dan menghampiri Poppi.
“Ada apa?”
“Hus, jangan keras-keras! Anak nakal, nanti sore saya tunggu kamu lagi jam lima. Ini alamat saya, jangan sampai hilang, ya?”
Poppi menyerahkan secarik kertas, Ialu seperti tak terrjadi apa-apa dia berjalan meninggalkan Lupus.
“Eh, tunggu!” tahan Lupus.
“Ada apa Iagi?” Poppi celingukan takut kepergok temannya.
“Ini, saya juga mau ngasih alamat. jemputlah saya kalau kamu kelamaan menunggu .... “
Poppi melotot.
0 komentar:
Posting Komentar