TAU nggak, di
SMA-nya Lupus cuma ada satu kantin. Terletak di ujung lapangan dan
terlindung di balik pohon-pohon yang rindang. Tempat yang sangat
strategis untuk ngeceng anak-anak yang berolahraga di lapangan,
membolos pelajaran, numpang nggosip atau benar-benar mau makan (asal
jangan nembak!). Hampir semua anak menyukai tempat itu, kecuali Lupus
dan beberapa teman cowoknya. Dia jauh lebih suka meloncati pagar untuk
jajan di luaran, daripada pergi ke kantin sekolah. Banyak hal yang
memaksa Lupus berbuat begitu, meski risikonya kalau ketauan ke luar
lingkungan sekolah pada saat jam-jam belajar, bisa disuruh membersihkan
kamar mandi dan WC. Sebuah kerja paksa yang paling dibenci semua murid
karena dirasakan tanpa kemanusiaan. (Bayangkan saja kalau kamu disuruh
membersih- kan tempat di mana orang-orang justru membuang sesuatu yang
paling kotor. Ih!)
Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut, karena di sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega sekali, tuh! Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen karet daripada tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika, Lupus pernah meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual permen karet barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah. Katanya bikin kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan bisa mengotori dinding.
Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak efektif. Terutama untuk makanan- makanan primer seperti mie ayam, mie bakso, atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau pesan mie ayam sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama juga tuh. Dan kita rada kurang sabar nungguinnya. Bagaimana tidak lama kalau setelah diselidiki ternyata yang punya kantin baru mengejar-ngejar ayam tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu dapat. Kalau misalnya sudah dapat, baru kemudian disembelih, dicabuti bulunya satu-satu, dibersihkan lagi, direbus, dan dipotong kecil-kecil untuk mie ayam. Alangkah kasihannya nasib si pembeli!
Pernah waktu pelajaran koseng, Lupus kelaparan. Belum sarapan. Mau makan di luaran, situasi kurang memungkinkan, karena tak bisa mengon- trol kelas yang siapa tau gurunya tiba-tiba datang. Maka Lupus pun pesan mie bakso di situ. Sengaja mie bakso, karena dengan begitu berarti dia tak usah menunggu yang punya kantin berkejar-kejar ria dengan ayam-ayam yang berkeliaran itu. Tapi ditunggu-tunggu ternyata lama sekali. Mungkin baksonya baru dibikin. Setengah jam lebih belum jadi juga. Sampai guru kimia yang galak, sok disiplin, konyol namun adil dalam memperlakukan murid itu nongol di ujung koridor. Kontan saja Lupus, masih dengan semangat ‘45, pontang- panting lari menuju kelasnya. Soalnya kalau terlambat selangkah saja di belakang guru kimia itu, jangan harap diperbolehkan masuk kelas. Itu peraturan yang dia... eh, beliau terapkan. Dan konyolnya, begitu melihat Lupus lari-larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, sang guru itu pun ikut-ikutan lari. Maka, terjadilah adu cepat-cepatan masuk kelas. Syukurlah, perlomba- an itu dimenangkan oleh Lupus dengan selisih jarak yang kecil sekali. Dan dengan senyum kemenangan, Lupus berjalan masuk kelas. Dia berhak mengikuti pelajaran kali ini.
Namun ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang pesuruh dari kantin mengetuk pintu kelas untuk mengantarkan mie bakso pesanan Lupus. Kontan saja Lupus kaget dan jadi bahan tertawaan anak sekelas.
Tapi sekarang ada cerita baru tentang kantin sekolah itu. Anaknya ibu kantin yang sekolah di Bandung datang. Dan ikut melayani di kantin tersebut. Gila, cakep juga! Dan pelayanannya bisa lebih cepat lagi. lni kan jadi menarik perhatian cowok-cowok yang tadinya suka jajan di luar, kecuali Lupus. Karena dia masih keki dengan pendiskriminasian mereka untuk tidak menjual permen karet.
Bisa ditebak, anak yang paling ribut kalau ada barang baru yang cakep adalah si Boim, playboy Duren Tiga. Pagi-pagi sekali, waktu Lupus baru memasuki kelas, dia sudah ngocol ke sana kemari. Ribut sekali, kaya orang kebakaran janggut.
“Hei, Kucing! Kok dua hari ini nggak masuk? Gimana..., emak lu baek?” sapanya begitu melihat Lupus.
“Baek. Emang kenapa? Mau diaduin sama emak lu?” balas Lupus seenaknya.
Boim nyengir, lalu tanpa tedeng aling-aling dia langsung ngoceh tentang anaknya ibu kantin.
Tapi bukan hanya Boim saja. Semua anak cowok kalau ada pelajaran kosong atau waktu istirahat, selalu betah nongkrong di kantin. Jajan nggak jajan pokoknya ngumpul. Puas biar cuma memandangi wajah cantik anak ibu kantin. Oya, nama itu lndah. Tentu saja primadona-primadona SMA Merah Putih ini pada keki berat dapat saingan begitu. Pasaran mereka jatuh drastis. Bangsanya Elsa, Ayu, Svida, atau Ruri (yang terakhir ini nggak kece, tapi suka sok kece. jadi daripada nangis, lebih baik diikut-sertakan. itung-itung amal.) yang biasa suka ber’ge-er’ ria kalau lagi digodain, kini ditegur pun jarang. Apa nggak bikin sebel tuh?
“Huh, baru anak tukang jualan aja direbutin. Dasar cowok di sini seleranya rendah semua!” maki Ruri, si biang gosip.
“Bukan selera kita rendah...,” balas Irvan membela kaumnya, “tapi kalian-kalian sudah terlalu uzur buat digodain. Makanya, rajin-rajin dong sembahyang, biar masuk surga .... “
Ruri makin dongkol.
“Tapi anak itu memang benar-benar kece, Pus. Tempel aja!” promosi David kepada lupus, di suatu siang nan gersang.
“Dikata salonpas apa? Maen tempel aja!” balas Lupus spontan.
“lya, Cing, kamu kok nggak pernah ikutan nongkrong di kantin, sih? Bego. Saya lagi naksir berat nih sama dia. Gimana ya caranya sampai dia tau kalau saya naksir? Ayo dong, Pus, kamu kan suka banyak ide!” Lagi-lagi Boim ngegombal. Lupus ogah-ogahan mendengar celoteh Boim. Dia malah lagi mikir, gimana bisa tidur enak di kelas tanpa diganggu cecurut macam Boim begini.
“Say it with flowers!” jawab Lupus sekenanya. Tapi reaksi Boim benar-benar luar biasa. Ide yang cemerlang, teriaknya. Keesokan harinya, pagi- pagi sekali, dia sudah membawa seikat bunga buat anak ibu kantin itu. Dan bisa ditebak, cintanya ditolak!
***
Tapi belum sampai tiga hari sejak kedatangan Indah, kantin sekolah tiba-tiba ditutup. Begitu mendadak. Perintah pemboikotan kantin itu datang langsung dari Kep-Sek. Sang Kep-Sek ini shock berat ketika mendengar bahwa di kantin sekolah dijual juga minuman keras (bukan es, lho, tapi yang mengandung alkohol) dalam kemasan plastik. SMA Merah Putih, yang selama ini menjadi SMA teladan karena nama baiknya, yang para siswanya tak pernah terlibat perkelahian meski bersebelahan dengan sekolah lain (tentu saja, wong sekolah ini bersebelahan dengan SD inpres. Mana bisa diajak perang?), dan juga prestasi siswa-siswinya yang sering memenangkan cepat- tepat di TV (ini juga, setelah diselidiki ternyata mereka ikutan Cepat Tepat-Tingkat SLTP, tentu saja menang!), dan kebanyakan siswanya bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa ikut sipenmaru, tentu saja tak mau tercemar dengan berita mengejutkan macam itu.
Lupus tadinya tidak begitu ambil pusing, karena dia toh jarang jajan di kantin itu. Pengalaman buruk masa lampau cukup membuatnya kapok. Tetapi ketika suatu siang, sepulang sekolah dia ketemu lndah di dekat terminal Grogol, dia jadi ingin tahu. Soalnya lndah itu malah jualan makanan kecil buat para kondektur. Indah berusaha menghindar ketika tau Lupus itu siswa SMA Merah Putih. Tapi Lupus memergokinya.
“Kamu lndah, kan? Kok jualan beginian? lbu kantin sekarang di mana?”
Indah cuma diam beberapa saat. Tapi kemudian dia cerita banyak. Tentang bagaimana hidup dia tanpa usaha kantin di sekolah Lupus.
“ltu penghasilan kami satu-satunya. Dengan begitu, setelah kejadian ini saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi di Bandung. Terpaksa bantu-bantu ibu jualan makanan kecil .... “ sahut Indah sedih.
“Tapi, kenapa kalian sampai bisa terlibat kasus penjualan minuman keras itu? Kekurangan duit, ya?”
“Kami memang cereboh. Kami mau saja menerima titipan dagangan dari orang luar. Kami benar-benar tak tau kalau bungkusan plastik itu minuman keras. Bagaimana kami bisa curiga kalau yang menitipkan dagangan itu siswi SMA itu sendiri?”
“Siswi SMA Merah Putih? Siapa? Kok kamu tidak lapor saja?”
”Lapor? Mana mau mereka mendengar suara kami, kaum lemah? Mereka begitu mudahnya mengusir kami tanpa memberi kesempatan untuk membela diri!”
“Jangan berprasangka buruk. Mungkin sang Kep-Sek lagi panik. Soalnya terus terang. ini pukulan pertama bagi beliau. Apalagi dia itu jantungan! Ngomong-ngomong, siapa yang meni- tipkan minuman keras itu?”
“Ruri.”
“Ruri?” Lupus tiba-tiba bisa menangkap latar belakang semua ini.
Dan sore harinya, Lupus sudah berada di rumah Ruri.
“Kamu jangan nuduh sembarangan dong! Kalau memang naksir anak tukang jualan itu bilang aja. Nggak usah berlagak sok pahlawan!” jawab Ruri ketus.
“Naksir dia? Oh, kamu salah, Ruri. Saya lebih baik memilihmu daripada dia. Tapi masalahnya, kau telah merampas mata pencarian utama mereka, sehingga lndah tak bisa melanjutkan sekolah. lni soal perikemanusiaan, bukan soal naksir-naksiran. Bayangin aja kalau hal itu terjadi pada diri kamu. Ayahmu di-PHK dengan mendadak, dan kamu terpaksa harus berhenti sekolah. Harus jualan serabi di terminal, hanya untuk bisa bertahan hidup. Ginmna, coba? Indah kan sudah tak punya ayah lagi...,” celoteh Lupus tenang.
Ruri memang suka iri, sirik, usil, biang gosip, dan sederetan predikat jelek lainnya. Tapi dia toh tetap seorang wanita. Yang mempunyai perasaan. ltulah sela yang diserang oleh Lupus.
“Yang perlu kamu lakukan hanya lapor ke Kep-Sek. Bilang, mereka tak bersalah dan akui kesalahanmu. Saya tau, ini bukan kehendak kamu. Pasti ada pihak lain yang mempergunakan kesempatan ini.” Ruri termangu. “Iya, Pus. Meski saya iri pada kecantikan Indah, tapi saya nggak akan sejahat itu. Minuman keras plastik itu diberikan oleh Tante Mari. Yang rumahnya dekat sekolah. Dia sengaja ingin menjatuhkan citra ibu kantin, karena saya tau Tante Mari ingin sekali menguasai kantin sekolah kita. Tak jarang dia mengejek masakan dan makanan yang disediakan oleh ibu kantin. Saya tak bisa mengerti, dia kan sudah punya banyak toko makanan di pasar-pasar, dan hidup serba kecukup- an. Kok ya masih mau merampas jatah orang!” sahut Ruri tanpa ekspresi.
“Saya percaya, ini memang bukan keinginanmu. Dan kamu masih bisa menebus dosa. Laporkan hal ini kepada Kep-Sek besok pagi. Dan kamu akan jadi pahlawan. Kamu telah menolong nasib orang lain yang menderita. Ayolah, Rur. Kalau Bob Geldof yang doyan kumpul kebo itu saja bisa menjadi malaikat penolong, kenapa kamu tidak? Biar begini-begini, kamu toh nggak doyan kumpul kebo. Iya, kan? Nah, makanya...”
Ruri cemberut.
***
Pagi hari udara cerah. Lupus berjalan me- nyeberangi lapangan sekolah sambil menenteng tasnya di pundak. Dua hari sudah Lupus terpaksa bolos. Gara-gara disuruh meliput berita oleh majalahnya. Kini dia melewati kantin sekolah. Tersenyum lebar ketika melihat kantin itu kembali dibuka. Secara iseng, dia melongokkan kepalanya ke dalam kantin. Dan terkesima ketika melihat satu stoples penuh berisi permen karet terpampang rapi di meja tempat jualan.
“Eh, Nak Lupus. Kok baru kelihatan? Kemarin lndah mencarimu. Tapi nggak ketemu. Sekarang dia sudah kembali ke Bandung,” sapa ramah ibu kantin mengejutkannya, “Mari masuk. Sudah sarapan? Mau dibikinkan mie bakso?”
“Eh, enggak deh. Terima kasih, Bu. Saya cuma mau beli permen karet itu!”
“Ooo..., iya. Itu memang disediakan khusus untukmu. lndah yang memesankan. Oya, dia juga titip surat ini.”
Dan pada saat itu Poppi masuk. Tersenyum sebentar pada ibu kantin dan langsung menarik Lupus ke luar.
“Hm, bagus ya! Ternyata kamu juga ikut-ikutan anak-anak ngejar si Indah. Ayo, mana suratnya. Biar saya yang baca!”
Lupus cuma melongo, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut, karena di sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega sekali, tuh! Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen karet daripada tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika, Lupus pernah meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual permen karet barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah. Katanya bikin kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan bisa mengotori dinding.
Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak efektif. Terutama untuk makanan- makanan primer seperti mie ayam, mie bakso, atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau pesan mie ayam sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama juga tuh. Dan kita rada kurang sabar nungguinnya. Bagaimana tidak lama kalau setelah diselidiki ternyata yang punya kantin baru mengejar-ngejar ayam tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu dapat. Kalau misalnya sudah dapat, baru kemudian disembelih, dicabuti bulunya satu-satu, dibersihkan lagi, direbus, dan dipotong kecil-kecil untuk mie ayam. Alangkah kasihannya nasib si pembeli!
Pernah waktu pelajaran koseng, Lupus kelaparan. Belum sarapan. Mau makan di luaran, situasi kurang memungkinkan, karena tak bisa mengon- trol kelas yang siapa tau gurunya tiba-tiba datang. Maka Lupus pun pesan mie bakso di situ. Sengaja mie bakso, karena dengan begitu berarti dia tak usah menunggu yang punya kantin berkejar-kejar ria dengan ayam-ayam yang berkeliaran itu. Tapi ditunggu-tunggu ternyata lama sekali. Mungkin baksonya baru dibikin. Setengah jam lebih belum jadi juga. Sampai guru kimia yang galak, sok disiplin, konyol namun adil dalam memperlakukan murid itu nongol di ujung koridor. Kontan saja Lupus, masih dengan semangat ‘45, pontang- panting lari menuju kelasnya. Soalnya kalau terlambat selangkah saja di belakang guru kimia itu, jangan harap diperbolehkan masuk kelas. Itu peraturan yang dia... eh, beliau terapkan. Dan konyolnya, begitu melihat Lupus lari-larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, sang guru itu pun ikut-ikutan lari. Maka, terjadilah adu cepat-cepatan masuk kelas. Syukurlah, perlomba- an itu dimenangkan oleh Lupus dengan selisih jarak yang kecil sekali. Dan dengan senyum kemenangan, Lupus berjalan masuk kelas. Dia berhak mengikuti pelajaran kali ini.
Namun ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang pesuruh dari kantin mengetuk pintu kelas untuk mengantarkan mie bakso pesanan Lupus. Kontan saja Lupus kaget dan jadi bahan tertawaan anak sekelas.
Tapi sekarang ada cerita baru tentang kantin sekolah itu. Anaknya ibu kantin yang sekolah di Bandung datang. Dan ikut melayani di kantin tersebut. Gila, cakep juga! Dan pelayanannya bisa lebih cepat lagi. lni kan jadi menarik perhatian cowok-cowok yang tadinya suka jajan di luar, kecuali Lupus. Karena dia masih keki dengan pendiskriminasian mereka untuk tidak menjual permen karet.
Bisa ditebak, anak yang paling ribut kalau ada barang baru yang cakep adalah si Boim, playboy Duren Tiga. Pagi-pagi sekali, waktu Lupus baru memasuki kelas, dia sudah ngocol ke sana kemari. Ribut sekali, kaya orang kebakaran janggut.
“Hei, Kucing! Kok dua hari ini nggak masuk? Gimana..., emak lu baek?” sapanya begitu melihat Lupus.
“Baek. Emang kenapa? Mau diaduin sama emak lu?” balas Lupus seenaknya.
Boim nyengir, lalu tanpa tedeng aling-aling dia langsung ngoceh tentang anaknya ibu kantin.
Tapi bukan hanya Boim saja. Semua anak cowok kalau ada pelajaran kosong atau waktu istirahat, selalu betah nongkrong di kantin. Jajan nggak jajan pokoknya ngumpul. Puas biar cuma memandangi wajah cantik anak ibu kantin. Oya, nama itu lndah. Tentu saja primadona-primadona SMA Merah Putih ini pada keki berat dapat saingan begitu. Pasaran mereka jatuh drastis. Bangsanya Elsa, Ayu, Svida, atau Ruri (yang terakhir ini nggak kece, tapi suka sok kece. jadi daripada nangis, lebih baik diikut-sertakan. itung-itung amal.) yang biasa suka ber’ge-er’ ria kalau lagi digodain, kini ditegur pun jarang. Apa nggak bikin sebel tuh?
“Huh, baru anak tukang jualan aja direbutin. Dasar cowok di sini seleranya rendah semua!” maki Ruri, si biang gosip.
“Bukan selera kita rendah...,” balas Irvan membela kaumnya, “tapi kalian-kalian sudah terlalu uzur buat digodain. Makanya, rajin-rajin dong sembahyang, biar masuk surga .... “
Ruri makin dongkol.
“Tapi anak itu memang benar-benar kece, Pus. Tempel aja!” promosi David kepada lupus, di suatu siang nan gersang.
“Dikata salonpas apa? Maen tempel aja!” balas Lupus spontan.
“lya, Cing, kamu kok nggak pernah ikutan nongkrong di kantin, sih? Bego. Saya lagi naksir berat nih sama dia. Gimana ya caranya sampai dia tau kalau saya naksir? Ayo dong, Pus, kamu kan suka banyak ide!” Lagi-lagi Boim ngegombal. Lupus ogah-ogahan mendengar celoteh Boim. Dia malah lagi mikir, gimana bisa tidur enak di kelas tanpa diganggu cecurut macam Boim begini.
“Say it with flowers!” jawab Lupus sekenanya. Tapi reaksi Boim benar-benar luar biasa. Ide yang cemerlang, teriaknya. Keesokan harinya, pagi- pagi sekali, dia sudah membawa seikat bunga buat anak ibu kantin itu. Dan bisa ditebak, cintanya ditolak!
***
Tapi belum sampai tiga hari sejak kedatangan Indah, kantin sekolah tiba-tiba ditutup. Begitu mendadak. Perintah pemboikotan kantin itu datang langsung dari Kep-Sek. Sang Kep-Sek ini shock berat ketika mendengar bahwa di kantin sekolah dijual juga minuman keras (bukan es, lho, tapi yang mengandung alkohol) dalam kemasan plastik. SMA Merah Putih, yang selama ini menjadi SMA teladan karena nama baiknya, yang para siswanya tak pernah terlibat perkelahian meski bersebelahan dengan sekolah lain (tentu saja, wong sekolah ini bersebelahan dengan SD inpres. Mana bisa diajak perang?), dan juga prestasi siswa-siswinya yang sering memenangkan cepat- tepat di TV (ini juga, setelah diselidiki ternyata mereka ikutan Cepat Tepat-Tingkat SLTP, tentu saja menang!), dan kebanyakan siswanya bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa ikut sipenmaru, tentu saja tak mau tercemar dengan berita mengejutkan macam itu.
Lupus tadinya tidak begitu ambil pusing, karena dia toh jarang jajan di kantin itu. Pengalaman buruk masa lampau cukup membuatnya kapok. Tetapi ketika suatu siang, sepulang sekolah dia ketemu lndah di dekat terminal Grogol, dia jadi ingin tahu. Soalnya lndah itu malah jualan makanan kecil buat para kondektur. Indah berusaha menghindar ketika tau Lupus itu siswa SMA Merah Putih. Tapi Lupus memergokinya.
“Kamu lndah, kan? Kok jualan beginian? lbu kantin sekarang di mana?”
Indah cuma diam beberapa saat. Tapi kemudian dia cerita banyak. Tentang bagaimana hidup dia tanpa usaha kantin di sekolah Lupus.
“ltu penghasilan kami satu-satunya. Dengan begitu, setelah kejadian ini saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi di Bandung. Terpaksa bantu-bantu ibu jualan makanan kecil .... “ sahut Indah sedih.
“Tapi, kenapa kalian sampai bisa terlibat kasus penjualan minuman keras itu? Kekurangan duit, ya?”
“Kami memang cereboh. Kami mau saja menerima titipan dagangan dari orang luar. Kami benar-benar tak tau kalau bungkusan plastik itu minuman keras. Bagaimana kami bisa curiga kalau yang menitipkan dagangan itu siswi SMA itu sendiri?”
“Siswi SMA Merah Putih? Siapa? Kok kamu tidak lapor saja?”
”Lapor? Mana mau mereka mendengar suara kami, kaum lemah? Mereka begitu mudahnya mengusir kami tanpa memberi kesempatan untuk membela diri!”
“Jangan berprasangka buruk. Mungkin sang Kep-Sek lagi panik. Soalnya terus terang. ini pukulan pertama bagi beliau. Apalagi dia itu jantungan! Ngomong-ngomong, siapa yang meni- tipkan minuman keras itu?”
“Ruri.”
“Ruri?” Lupus tiba-tiba bisa menangkap latar belakang semua ini.
Dan sore harinya, Lupus sudah berada di rumah Ruri.
“Kamu jangan nuduh sembarangan dong! Kalau memang naksir anak tukang jualan itu bilang aja. Nggak usah berlagak sok pahlawan!” jawab Ruri ketus.
“Naksir dia? Oh, kamu salah, Ruri. Saya lebih baik memilihmu daripada dia. Tapi masalahnya, kau telah merampas mata pencarian utama mereka, sehingga lndah tak bisa melanjutkan sekolah. lni soal perikemanusiaan, bukan soal naksir-naksiran. Bayangin aja kalau hal itu terjadi pada diri kamu. Ayahmu di-PHK dengan mendadak, dan kamu terpaksa harus berhenti sekolah. Harus jualan serabi di terminal, hanya untuk bisa bertahan hidup. Ginmna, coba? Indah kan sudah tak punya ayah lagi...,” celoteh Lupus tenang.
Ruri memang suka iri, sirik, usil, biang gosip, dan sederetan predikat jelek lainnya. Tapi dia toh tetap seorang wanita. Yang mempunyai perasaan. ltulah sela yang diserang oleh Lupus.
“Yang perlu kamu lakukan hanya lapor ke Kep-Sek. Bilang, mereka tak bersalah dan akui kesalahanmu. Saya tau, ini bukan kehendak kamu. Pasti ada pihak lain yang mempergunakan kesempatan ini.” Ruri termangu. “Iya, Pus. Meski saya iri pada kecantikan Indah, tapi saya nggak akan sejahat itu. Minuman keras plastik itu diberikan oleh Tante Mari. Yang rumahnya dekat sekolah. Dia sengaja ingin menjatuhkan citra ibu kantin, karena saya tau Tante Mari ingin sekali menguasai kantin sekolah kita. Tak jarang dia mengejek masakan dan makanan yang disediakan oleh ibu kantin. Saya tak bisa mengerti, dia kan sudah punya banyak toko makanan di pasar-pasar, dan hidup serba kecukup- an. Kok ya masih mau merampas jatah orang!” sahut Ruri tanpa ekspresi.
“Saya percaya, ini memang bukan keinginanmu. Dan kamu masih bisa menebus dosa. Laporkan hal ini kepada Kep-Sek besok pagi. Dan kamu akan jadi pahlawan. Kamu telah menolong nasib orang lain yang menderita. Ayolah, Rur. Kalau Bob Geldof yang doyan kumpul kebo itu saja bisa menjadi malaikat penolong, kenapa kamu tidak? Biar begini-begini, kamu toh nggak doyan kumpul kebo. Iya, kan? Nah, makanya...”
Ruri cemberut.
***
Pagi hari udara cerah. Lupus berjalan me- nyeberangi lapangan sekolah sambil menenteng tasnya di pundak. Dua hari sudah Lupus terpaksa bolos. Gara-gara disuruh meliput berita oleh majalahnya. Kini dia melewati kantin sekolah. Tersenyum lebar ketika melihat kantin itu kembali dibuka. Secara iseng, dia melongokkan kepalanya ke dalam kantin. Dan terkesima ketika melihat satu stoples penuh berisi permen karet terpampang rapi di meja tempat jualan.
“Eh, Nak Lupus. Kok baru kelihatan? Kemarin lndah mencarimu. Tapi nggak ketemu. Sekarang dia sudah kembali ke Bandung,” sapa ramah ibu kantin mengejutkannya, “Mari masuk. Sudah sarapan? Mau dibikinkan mie bakso?”
“Eh, enggak deh. Terima kasih, Bu. Saya cuma mau beli permen karet itu!”
“Ooo..., iya. Itu memang disediakan khusus untukmu. lndah yang memesankan. Oya, dia juga titip surat ini.”
Dan pada saat itu Poppi masuk. Tersenyum sebentar pada ibu kantin dan langsung menarik Lupus ke luar.
“Hm, bagus ya! Ternyata kamu juga ikut-ikutan anak-anak ngejar si Indah. Ayo, mana suratnya. Biar saya yang baca!”
Lupus cuma melongo, tanpa bisa berbuat apa-apa.
0 komentar:
Posting Komentar